Tuesday, June 23, 2009

Lika-liku si surat sakti

Sebenarnya proses memperpanjang izin tinggal di sini tidaklah susah. Setidaknya dibandingkan teman-teman di Belanda yang katanya harus menunggu beberapa hari/minggu ya?! Di sini relatif cepat, hari itu kita mengajukan, hari itu juga selesai. Dengan catatan, semua persyaratan terpenuhi. Kadang memang kita harus kembali di hari lain, bila ada syarat yang kurang.. atau waktunya sudah terlalu siang untuk mengisi daftar pertanyaan keterlibatan kita dengan beberapa organisasi yang dicurigai berbuat teror (maklum pendatang dari Indonesia termasuk salahsatu yang harus mengisi daftar panjang pertanyaan-pertanyaan tersebut). Jika semua beres alias tidak bermasalah, maka izin tinggal tersebut pun bisa dibayar dan diambil hari itu juga.

Saya sendiri tidak pernah mengalami masalah selama beberapa kali memperpanjang izin tinggal di sini. Kecuali dalam kurun 8 bulan terakhir ini, bukan bermasalah sih sebenarnya.. hanya kalau dalam waktu 8 bulan, saya sampai 4 kali mendapatkan izin tinggal... rasanya cukup menjengkelkan juga.. Dan untuk hal ini, saya juga tidak menyalahkan mereka, terlalu banyak 'kebetulan' yang membuat saya bernasib kurang baik seperti ini.

Kisah ini berawal ketika kami mudik ke Indonesia bulan Oktober tahun lalu. Cerita lengkapnya pernah saya tulis di sini. Dikarenakan masa berlaku paspor saya sudah kurang dari 6 bulan, maka saya diharuskan membuat paspor baru di Indonesia sebelum saya kembali ke Munich. Ditambah kedutaan Jerman di Jakarta yang tidak bisa mengeluarkan izin tinggal dengan status yang saya punyai terakhir, maka otomatis paspor lama dan paspor baru harus saya bawa kembali ke Munich. Sekembalinya di Munich, saya langsung memindahkan izin tinggal dari paspor lama ke paspor baru, dengan masa berlaku sama, yaitu 13 Februari 2009, sama dengan masa berlakunya paspor lama saya.

Ketika melihat paspor suami, ternyata izin tinggal dia berlakunya sampai 31 Maret. Lho.. kenapa berbeda? Jelas... karena paspor lama saya hanya berlaku sampai 13 Februari, sedangkan izin tinggal terakhir tersebut dibuat dua tahun sebelumnya. Sayangnya, ternyata izin tinggal anak-anak pun mengikuti tanggal berlaku punya saya, karena dulunya paspor mereka masih menempel ke ibu. Jadi ketika mereka mempunyai paspor masing-masing, otomatis izin tinggalnya masih tergantung izin tinggal terakhir yang nempel di paspornya ibu.

Akhirnya, 2 hari sebelum izin tinggal saya dan anak-anak jatuh tempo, kami berbondong-bondong datang ke KVR lagi. Dengan harapan si Akang bisa memperpanjang izin tinggalnya dia saat itu juga. Jadinya urusan ini akan selesai hari itu juga. Ternyata, karena si Akang mengajukan izin tinggal yang tidak terbatas masa berlakunya, maka secara birokrasi, izin tinggal tersebut harus melalui proses pemeriksaan dulu, katanya. Prosesnya sendiri bisa berlangsung dalam waktu 4 sampai 6 minggu. Sedangkan izin tinggal saya dan anak-anak sudah di ujung tanduk. Maka akhirnya kami diberi izin tinggal sementara sampai 31 Maret (sama dengan izin tinggal lama si Akang. Gak bisa lebih, karena kami sangat tergantung pada kepala keluarga). Dua kali...

Sebulan kemudian, si Akang kembali lagi untuk menyelesaikan proses izin tinggalnya tersebut. Alhamdulillah, setelah dihitung-hitung, masa tinggal dia di Jerman yang tidak pernah terpotong lebih dari 6 bulan, memenuhi syarat (5 tahun). Untuk Muenchen, student dihitung setengahnya dibanding yang kerja. Eh, lagi-lagi.. saya hanya dikasih izin tinggal sementara sampai bulan Juni. Alasannya? Karena saya datang bulan Mei 2004, maka bulan Mei ini saya akan genap 5 tahun. Jadi, istri Anda bisa mendapatkan izin tinggal tak terbatas bulan Juni nanti, katanya. Sebenarnya agak kecewa waktu itu, karena izin tinggal apapun buat saya sama saja, toh kami tidak berencana tinggal di sini selamanya. Tapi kalau memang si ibunya sendiri yang menganjurkan seperti itu.. baiklah.. toh dia lebih berpengalaman, pikir saya.

Akhir Mei lalu, saya datang lagi ke sana. Ternyata data-data saya sudah terpisah sendiri, tidak lagi sebundel dengan data si Akang dan anak-anak. Dan biasalah.. birokrasi.. katanya proses pemeriksaan data saya membutuhkan waktu 2 sampai 3 minggu. Setelah mengisi sebuah formulir, saya pun kembali pulang. Oya, waktu itu sempat menanyakan apakah masih ada syarat yang kurang? Dia bilang tidak. Apakah saya harus datang dengan suami? karena gosipnya, teman2 saya yang lain memerlukan tanda tangan suami untuk keperluan izin tinggalnya tersebut. Ternyata katanya tidak juga. Oke, berarti saya bisa datang sendiri lagi nanti.

Tiga minggu kemudian saya datang lagi. Dan si Ibu tampak sudah mengenali saya. Dia langsung mengambil data saya dan membolak-baliknya. Ternyata.. surat keterangan kerja dari kantor suami saya sudah kelamaan. Ini dari 4 bulan yang lalu, kami membutuhkan yang terbaru, ujarnya. Untungnya, pas ditelepon ke kantor, si Akang bisa nge-fax surat tersebut langsung ke KVR. Kalau begitu, izin tinggal Anda bisa selesai hari ini juga, katanya. Ploong deh.. 10 menit kemudian, saya ketok pintu ruangan si ibu, untuk memberitahukan bahwa suratnya sudah di-fax dari kantor suami saya. Ternyata si ibu malah menyuruh saya masuk dan mengajak bicara. Katanya, setelah dia ngobrol dengan atasannya, masa tinggal saya di sini masih kurang dari 5 tahun. Kenapa? bukannya dari 2004-2009 itu bulat 5 tahun? tanya saya. Ternyata, dalam 2 tahun pertama kedatangan saya, status si Akang masih student. Dan istri student juga dianggap sama seperti student, alias hanya dihitung setengahnya. Yang berarti persyaratan saya tinggal di sini masih kurang satu tahun. Ya ampuuuun.. kenapa sih baru ketahuan sekarang? bukannya dari dulu.. atau minimal dari ketika saya masuk ruangan tadi. Kan katanya ada proses pemeriksaan dulu selama 3 minggu. Kayaknya mungkin penghitungan masa tinggal tidak termasuk dalam proses 3 minggu tadi.. Ah.. birokrasi.. birokrasi..

Alhamdulillah.. akhirnya saya mendapatkan izin tinggal hari itu juga untuk 2 tahun ke depan. Meski penantian 3 bulan ini rasanya sia-sia.. Tapi saya yakinlah, pasti ada hikmah di balik semua ini.

Kartun

Waktu masih kecil dulu, saya lebih senang nonton film kartun daripada film dengan aktor aktris nyata. Mungkin di mata saya dulu (baca: anak-anak), kartun justru terlihat lebih hidup daripada manusia beneran :D Waktu itu saya merasa bahwa film kartun adalah film saya (maksudnya film buat anak-anak). Padahal sebenarnya tidak selalu begitu. Kalau saya perhatikan sekarang, banyak juga film kartun yang tidak cocok menjadi konsumsi anak-anak. Banyak film kartun dengan adegan sadis, yang sebenarnya film-film itu adalah tontonan favorit saya dulu. Tapi kok dulu saya melihatnya biasa-biasa saja ya??! :D Berbeda dengan kondisi sekarang, saya berusaha untuk menjauhkan anak-anak dari film-film seperti itu. Makanya, meski di rumah telah bercokol sebuah pesawat televisi, kami jarang menggunakannya untuk menonton saluran TV. Mereka lebih banyak nonton film-film yang saya pinjam dari perpustakaan. Setidaknya film-film tersebut sudah lulus sensor dari saya.. ;)

Eh, kok jadi ngawur.. Sebenarnya yang mau saya ceritakan bukanlah hal di atas. :D Karena seringnya saya menonton serial film kartun, saya pun secara tidak sengaja jadi memperhatikan karakter-karakter dalam film kartun tersebut. Menurut saya, hampir semua karakter dalam sebuah film, gambar dasarnya sama saja, hanya berbeda dalam detilnya. Misalnya dikasih model baju yang berbeda, warna dan model rambut berbeda, dipakaikan kacamata atau bintik-bintik di muka, jadi deh dua tokoh berbeda.

Nah, semenjak tinggal di sini, saya kok sering menemukan hal serupa di dunia kartun, tapi di dunia nyata. Misalnya, pernah suatu kali, ketika saya sedang di angkutan umum, tiba-tiba saya kaget ketika melihat seseorang yang saya kenal. Ya, dia sama persis dengan tetangga saya. Hanya saja ibu yang ini rambutnya keriting dan kuning keemasan, ditambah dengan mantel selutut dan tas tangan yang dia simpan dipangkuannya. Tampak berbeda sekali dengan ibu tetangga saya yang lebih sering kelihatan mengenakan daster lengkap dengan ciputnya. Tapi senyumnya... SAMA persis.. tak ada yang beda sedikit pun.

Begitupun dengan kemarin, ketika saya melewati toko roti, saya merasa mengenali seseorang yang saya kenal di sana. Saya sampai berjalan mundur kembali untuk memperhatikannya. Kalau memang dia saya kenal, tentunya harus di sapa donk. Wajahnya.. senyumnya.. persis.. Hanya rambutnya yang berbeda, orang ini ternyata memiliki rambut gimbal ala penyanyi Reggae. Dan ternyata dia bukanlah kenalan saya.. :D

Hm.. kadang saya merasa seperti sedang di dunia kartun. Tapi makin lama, saya makin merasa kagum pada-Nya, yang mampu menciptakan ribuan macam karakter di dunia ini.