Thursday, December 30, 2010

Neng Iyam saba Mall

Kisah ini mirip sama kisahnya Kang Kabayan *lol*. Ceritanya waktu hari Senin yang lalu, kami harus mencari barang, yang adanya di toko besar di pusat kota sana. Karena sedang libur, sekalian deh pergi bareng sama anak-anak ke sana. *iyalah, kalau ditinggal di rumah dititip ke siapa coba?*. Sebenarnya toko yang kami kunjungi ini tidak tepat juga kalau disebut mall, ini hanyalah toko segala ada, mirip-mirip sama Matahari atau Yogya lah kalau di Bandung mah. Begitu kami masuk ke dalam toko, langsung melihat tangga berjalan yang saling silang mulai dari lantai paling bawah sampai lantai paling atas (total hanya 4 lantai saja). Kalau dilihat dari pinggir bawah, tentu saja yang kelihatan tangga bagian bawah yang rata dan mengkilap. Maryam langsung histeris,

"wuaaaaaahhhhhh, banyak perosotannya!!!" dengan muka melongo penuh takjub tea.
"wuaaaahhh... kita ada dimana ini, Mama?" tanya Nadin.
"Wuaaaahh... baguuuuusssss.. banyak glitze-glitzenya (mengkilap, kerlap-kerlip)" kata dua-duanya...
"Wuaaaaahhh.. tokonya bagus bangeeeeetttttt." lagi-lagi takjub.. :D
...dan masih banyak decakan kagum lainnya...

Ya ampuuuunnnnn.... saya ketawa terbahak-bahak dalam hati. Kata si akang, "waduh, untung kita bukan di Bandung nih sekarang... bisa-bisa orang bilang, ini anak datang dari Jerman, tapi kayak keluar dari hutan begini kalau masuk mall". hahahah...

Setelah dipikir-pikir, lagi-lagi saya baru sadar, kalau selama ini saya memang belum pernah jaraaaaaaaaaaang banget membawa anak-anak ke pusat perbelanjaan seperti hari itu. Ya, saya tipe ibu-ibu yang tidak suka belanja di akhir minggu, selain karena toko-toko penuh berjubel di hari Sabtu, hari itu adalah hari dimana kami semua bisa berkumpul di rumah, jadi enaknya dimanfaatkan untuk bermalas-malasan aja. Kalaupun keluar rumah, kami habiskan untuk bermain bersama, bukan belanja. Semua kegiatan belanja (baik belanja bahan makanan, pakaian, dll) saya lakukan di hari kerja, Senin sampai Jumat, itupun sebisa mungkin dilakukan saat anak-anak sedang di Kindergarten. Maklumlah, anak saya ada 3 dan masih kecil-kecil, kalau pulang sekolah mereka masih dibawa keliling-keliling belanja dulu.

Pulang dari Kindergarten biasanya kami langsung pulang ke rumah, kecuali kalau ada jadwal dokter. Tapi kalau musim panas, anak-anak biasanya ingin main dulu. Tempat mainnya juga sudah pasti ke Spielplatz (taman bermain) yang berserakan dimana-mana *foto Spielplatz bisa dilihat di gambar bawah, klik untuk memperbesar*. Hampir setiap blok dipastikan ada Spielplatz. Bahkan beberapa apartemen memiliki Spielplatz khusus untuk penghuninya.

Kondisi sebaliknya dapat kita temukan di Bandung (cuma kota ini yang bisa saya jadikan contoh, karena tidak pernah tinggal di kota besar lainnya). Di Bandung tampaknya taman bermain susah dicari, namun Mall bisa kita temukan (kasarnya) di setiap perempatan jalan. Waktu pulang 2 tahun lalu, kami menghitung ada (kalau tidak salah) 23 mall di Bandung. Ini bukan hasil kunjungan lho ngitungnya, tapi menghitung dari buku :D. Sedangkan di Munich (kota tempat kami tinggal), dengan luas hampir dua kali lipat Bandung, hanya memiliki 4 buah Mall saja (PEP, OEZ, Riem Arcaden, Marienplatz (yang ini sebenarnya lebih mirip pasar baru), ada yg lain lagi Muenchnerin? tolong tambahkan kalau ada yg lain ya.. ;) ). Itupun rasanya tidak semewah mall-mall di Indonesia. Fyi, Munich merupakan salah satu kota metropolitan di Jerman, sama lah kayak Jakarta, tapi kondisinya sungguh berbeda.

Oya, alternatif bermain yang lain, saat cuaca buruk, biasanya kami bermain di perpustakaan. Kalau saat liburan bagaimana? ya sama aja, kalau bapaknya libur, kami paling jalan-jalan ke Englischer Garten atau taman lainnya (fyi, taman di sini kalau dilihat dari luar kayak hutan lho! :D) atau bisa juga ke danau (di Munich banyak sekali danau). Kadang-kadang kami jalan ke kota juga. Tapi bisa dipastikan, kemanapun kami jalan, mainnya tetep di Spielplatz (kan ada dimana-mana :D). Saya berpikir, tampak bakal susah buat anak-anak kalau suatu hari nanti kami pulang ke Bandung. Saat di sini tempat bermain sangat mudah dicari dan gratis, di Bandung agak-agak susah dan harus bayar. Tapi mudah-mudahan nanti anak-anak tidak berubah menjadi anak mall. :D


Monday, December 27, 2010

Beruang loli bermata belo (Peanut Butter Cookies)


Description:
Gara-gara nonton video membuat kue yang ini , anak-anak jadi ribut ingin melakukan hal yang sama. Karena tampak gampang dan sederhana, maka saya kabulkanlah.. dengan syarat mereka harus memberi saya waktu dulu untuk mencari resep dan belanja bahan-bahannya dulu. Curang juga, di videonya dia memakai tepung campuran yang sudah jadi. Akibatnya saya harus mencari sendiri resepnya. Apa ya namanya? tampaknya Peanut butter cookies deh. Ternyata benar, begitu klik di Google langsung nyambung ke berbagai macam resep kue kering tersebut.

Baru baca sekilas, udah langsung pusing, masalahnya takarannya pake cup. Kalau maksa memakai cangkir biasa di rumah, biasanya suka gagal, makanya saya sudah males bener deh kalau melihat resep dengan standar cup. Akhirnya saya mencoba mencari resep yang sama dalam bahasa Jerman, karena standar Jerman sama dengan Indonesia, memakai timbangan. Dan akhirnya nemu!

Sayangnya, setelah dibaca teliti, meski bahasanya Jerman, satuannya tetap cangkir *duh*. Akhirnya setelah dapat masukan dari Mbak Santi, dapatlah link konversi ukuran cup ke gram. Dan saya putuskan untuk memakai resep yang Amerika lagi, biar asli gitu rasanya. Tapi setelah dibaca lagi, rada ribed juga ya resepnya?! pake shortening segala. Akhirnya balik lagi deh ke resep yang bahasa Jerman. *prinsip saya: cari barang termurah, cari resep termudah*

Resep asli bisa di baca di sini

Ingredients:
250 g tepung terigu (sebenarnya dari hasil konversi butuh 130 g aja, tapi adonannya becek banget, jadi ditambah lagi sampai adonan bisa dibentuk. Kalau mau bikin, terigunya ditambah sedikit demi sedikit saja dulu, takut saya melakukan error ketika menimbang mentega. :D)
¾ sdt soda kue
¼ sdt garam
113 g Butter atau Margarin
125 g Peanut Butter (selai kacang?)
112 g gula pasir
100 g Rohrzucker/Brown sugar (gula palm?)
1 buah telur
½ buah Vanilla

Zuckerschrift warna-warni (gula untuk dekor kue)
smarties
tusuk es (karena belum nemu, jadi diganti tusuk sate dulu, tapi bagian runcingnya dibuang)

Directions:
1. Campurkan tepung, soda kue dan garam.

2. Kocok mentega/margarin sampai terbentuk puncak-puncak kecil.

3. Masukkan selai kacang, kemudian kedua macam gula, lalu kocok lagi sampai tercampur rata.

4. Masukkan telur dan vanilla, kocok lagi.

5. Masukkan campuran tepung (No. 1), lalu uleni sampai terbentuk adonan yang tepat.

6. Panaskan oven pada suhu 190 derajat celcius (kalau di resep asli sebenarnya oven sudah dipanaskan di awal, tapi karena anak-anak yang mencetak kue, maka waktu yang diperlukan mereka lebih lama, sehingga saya baru menyalakan oven saat kue siap dicetak.

7. Bentuk. Aslinya Peanut Butter Cookies: bentuk bola kecil dari adonan, guling-guling di dalam gula (jika suka), simpan di atas loyang, pipihkan bila dengan menggunakan garpu.

Bentuk loli beruang: Buat 1 bola agak besar dan dua bola kecil. Simpan bola di atas loyang dengan posisi bola kecil menempel di bagian atas kiri dan kanan bola besar (jadi kuping beruang). Tusuk bola besar dari bagian bawah dengan tusukan es, lalu pipihkan dengan tangan. Untuk lebih jelas lihat videonya ya..

Simpan masing-masing beruang dengan jarak berjauhan, karena ternyata setelah dibakar kue ini jadi melebar sekali. Idealnya satu loyang besar (Backblech) itu hanya muat 5 atau 6 dengan posisi saling berhadapan. Kemarin diisi 8 biji, 4 di atas 4 di bawah, jadinya saling menempel gak karua-karuan. Kata Maryam, "kok kalau udah dibakar, bentuknya bukan beruang lagi?" :D

8. Bakar selama kurang lebih 10 menit. Biarkan kue di atas loyang panas kira-kira 2 menit sebelum diangkat.

9. Dekor sesuai selera.

Saturday, December 25, 2010

bodoh bahasa (1)

Suatu hari, saya harus mengembalikan sebuah barang pesanan saya. Perangko yang tersedia untuk pengembalian barang tersebut tertera dari Hermes, jadi mau tidak mau, saya harus mengirim barangnya lewat Hermes. (Bagi yang belum tahu, Hermes merupakan salah satu jasa pelayanan paket swasta). Hermes tidak mempunyai toko khusus, biasanya dia menempel pada toko kecil lain, misalnya toko buku dan alat tulis, tukang jahit, laundry, dan lain-lain. Kebetulan Paket shop Hermes langganan saya sudah tutup (toko bukunya yang tutup), jadi saya mencari Paket shop Hermes lainnya, yang ternyata dekat sekali dengan rumah (fyi, Paket shop Hermes bisa dicari di websitenya).

Setelah saya datang ke sana, ternyata toko utama Paket shop yang ini merupakan sebuah Laundry. Di sana digantung beberapa baju berbungkus plastik serta beberapa buah karpet. Dan saya langsung teringat pada karpet di rumah yang tampak sudah perlu dicuci. Setelah urusan paket selesai, saya pun menanyakan perihal karpet pada si ibu.

"Kann ich hier einen Teppich waschen?" tanya saya.
(bisakah saya mencuci karpet di sini?)

"Nein, leider nicht. Aber Sie können Ihren Teppich hier waschen lassen. Ich mache den für Sie." (Tidak, sayang sekali tidak. Tapi Anda bisa mencuci karpet Anda di sini. Saya yang melakukan untuk Anda.)

Seketika saya pun tertawa. Si ibu juga ikut-ikutan tersenyum geli. Yah, saya baru ingat kalau ada satu kata terlewat yang membuat maksud kalimat jadi berbeda. Dalam bahasa Indonesia, kalimat "Bisakah saya mencuci karpet di sini?" rasanya sudah benar, tentu saja secara otomatis itu berarti si ibu yang melakukannya. Tapi dalam bahasa Jerman tidak bisa begitu. Saat kita ingin menyerahkan sesuatu untuk dilakukan orang lain, harus ditambahkan kata kerja 'lassen'.

Misal seperti kalimat tadi, yang betul seharusnya,
"Kann ich hier meinen Teppich hier waschen lassen?"
atau contoh lain saat saya mau membawa anak-anak untuk diimunisasi oleh dokter anak, kalimat yang benar seharusnya, "Ich möchte mein Kind impfen lassen"

Ah, gramatik, saya sudah banyak yang lupa. Terakhir belajar formal bahasa Jerman hampir 4 tahun yang lalu, sampai detik-detik terakhir Maryam akan lahir. Alasan aja ya?! padahal kalau belajar baru kemarin juga belum tentu saya masih jago.. :D Untuk percakapan sehari-hari sebenarnya tidak perlu gramatik yang benar sempurna, selama lawan bicara kita mengerti apa yang kita maksud, tentunya komunikasi masih bisa jalan. Tapi tidak begitu dengan ibu laundry tadi, dan satu tetangga saya. Tapi justru berkat mereka, saya bisa berbicara bahasa Jerman dengan lebih baik,

Wednesday, December 22, 2010

Baso Super Blasteran


Description:
Ternyata, sama resep, beda tangan, hasilnya pun bisa beda. Itu yang saya alami ketika membuat baso. Udah diajari langsung sama masternya (MpokAas), memakai resep dan tehnik yang sama, hasilnya tetap beda.

Sampai akhirnya, setelah mendapat tips dan trik dari mbak Lita (master baso von Nuernberg), akhirnya saya berhasil juga membuat baso super kenyal yang bikin lidah bergoyang dan mulut gak bosen-bosen mengunyah *doh, hiperbola pisan*. Hasilnya sih belum bisa menyamai para master baso yang mengajari saya, tapi minimal si akang lah yang puas bener dengan hasil yang saya buat... ;) Jadi inget waktu pertama kali bikin dengan hasil memuaskan ini, Nadin aja bisa ikut berkomentar, "Ini mamah yang bikin??" hahaha.... gak percaya dia..

Diberi nama baso super blasteran karena ini baso terbaik yang bisa saya bikin (sampai saat ini :D), berkat resep dan teknik campuran dari kedua master tadi.. Makasih ya Mpok Aas dan Mbak Lita.. Jangan bosen mengajari saya masak2 lagi, ok?! *wink*

Ingredients:
500 g daging cincang
100 g tepung tapioka (aci)
3 sdt garam
1/2 sdt merica bubuk
1 sdt muncung bawang putih goreng (bubuk)
1/2 sdt baking powder
100 g es

Directions:
1. Bawang putih goreng digerus sampai halus, campur dengan garam, merica dan baking powder.

2. Daging cincang + bumbu halus digiling sebentar dengan Food Processor/Kuechenmaschine sampai kelihatan lebih halus dari sebelumnya, kemudian masukkan es, giling bareng, sampai es hancur dan merata dengan daging. Karena saya kalau membuat sekalian banyak, dan Kuechenmaschine saya kapasitasnya kecil, maka saya menggiling daging beberapa kali, dan terakhir es digiling terpisah. Semua hasil gilingan disimpan di baskom, kemudian diuleni dengan menggunakan mixer (gunakan kocokan spiral)

3. Tambahkan tapioka. Uleni sampai semua tercampur rata.

4. Cetak baso. Ambil sekepal adonan, kepalkan tangan sampai adonan keluar diantara jari telunjuk dan jempol, lepaskan dengan sendok kecil, masukkan ke air mendidih. Biarkan sampai mengapung, tunggu beberapa menit agar baso bagian dalam benar-benar matang.

5. Baso siap disantap dengan mie kuah, digado, atau jadi pelengkap masakan lain (nasi goreng, capcay, sop, dll)

Friday, December 17, 2010

Apfel - Quark - Auflauf


Description:
Waktu beli Auflaufform, ternyata di dalam kemasannya ada beberapa resep Auflauf. Jadi tergiur untuk dicoba satu persatu. Yang ini rasanya enak juga, asem-asem Quarknya tidak begitu berasa seperti di Käsekuchen (cheesecake-nya Jerman). Jadi masih pas lah dengan lidah kampung saya.. Kue ini cukup mengenyangkan juga lho.. cocok juga buat sarapan dan selingan sebelum makan siang.. Kalau makan siang, harus tetep nasi doooonk...

Lho.. lho.. kok saya jadi ingat salahsatu menu makan siang di rumah sakit saat melahirkan, sepotong Apfelstrudel (Apel pie-nya Jerman). Ya ampuuun, ini makan siang apa cuci mulut siiiih? gumam saya waktu itu.. sungguh teganya... teganya.. teganya...

Ingredients:
1 kg Apel
340 g roti dari hari sebelumnya
1 sdt kayu manis bubuk
150 g gula pasir (karena gak terlalu suka manis, saya hanya memakai 130 g saja)
250 g Magerquark (Curd cheese)
200 g Sahne (double cream)
3 buah telur
3 buah putih telur
2 sdm mentega

Directions:
1. Ambil rumah biji Apel (ada alatnya, karena saya belum punya, maka saya pake cara manual. Bisa dibelah dulu, lalu ambil rumah bijinya, lalu iris melintang. Tapi yang ini jadi tidak membentuk cincin. Kalau mau membentuk cincin, potong apel, buang rumah biji dari kedua sisi. Baru diiris sesuai potongan tadi, dijamin membentuk cincin).

2. Kupas apel, sisakan dua biji jangan dulu dikupas. Iris membentuk cincin.

3. Roti dipotong kotak-kotak kecil

4. Kayu manis dicampurkan ke dalam 100 g gula (saya hanya memakai 70 g saja)

5. Simpan 1/3 bagian roti di dalam loyang, tutupi dengan 1/2 bagian apel yang sudah dikupas. Taburi kurang lebih 1/2 bagian dari campuran gula-kayu manis.

6. Tambahkan lagi 1/3 roti di atasnya, 1/2 apel yang tersisa dan campuran gula-kayu manis sampai tersisa kurang lebih 2 sdm. Tutupi dengan 1/3 bagian roti yang terakhir.

7. Panaskan oven 220 derajat.

8. Kocok putih telur sampai kaku, sisihkan.

9. Kocok Quark, Sahne, telur dan 50 g gula (saya hanya 30 g saja) sampai tercampur. Masukkan putih telur yang sudah kaku, aduk.

10. Masukkan campuran Quark ke dalam loyang merata ke seluruh bagian.

11. Kupas 2 apel yang tersisa, iris membentuk cincin, lalu tata di atas loyang.

12. Taburi mentega yang sudah dipotong2 kecil-kecil.

13. Masukkan oven, bakar selama kurang lebih 40 menit.

14. Sajikan hangat, lebih enak dihidangkan dengan saus vanila.

Monday, December 13, 2010

mmm.. ehmmm.. hmmm... mmm..

Waktu kena Herpes beberapa waktu lalu, mulut anak-anak diserang sariawan buanyaaaaaak sekali, sampai-sampai mereka kesusahan untuk ngomong.. apalagi makan. Maryam bahkan sempat mogok membuka mulut selama dua hari. Dia sama sekali tidak makan, tidak minum dan tidak pula berbicara. Kalau mau apa-apa, dia akan menepuk saya dulu, lalu menunjuk apa yang dia mau. Kalau saya bertanya, harus menggunakan pertanyaan ya dan tidak. Jawabannya bukan dengan anggukan atau gelengan kepala, tapi dengan "ehemm". Dua-duanya "ehemmm", tapi beda nadanya. Kalau tidak, "ehemm"nya mirip dengan bilang "o ow..". Tapi kalau iya, "ehm"nya ya begitulah.. (tampaknya harus ditambahi video nih biar jelas :D"

Tiba-tiba aja kemarin waktu mereka mau mandi,
saya bilang, "mandinya pakai sabun yang hijau ya?!".
"Ehemm." jawabnya. Mirip dengan "ehm" tidak. 
"Wah, kalau nggak, pakai yang mana donk? sabun yang pink-nya habis, mama belum beli lagi."
"Tadi Maryam kan bilang 'ehemmm.' Itu tuh 'ok'!"
"Lho, bukannya kalau 'ok' begini.. 'ehemm'." kata saya.
"Bukan, kalau itu mah 'ya', kalau ini kan 'ehemm'" timpal Nadin.
"Lho bukannya "ehmmm" itu artinya tidak?!" tanya saya.
"Bukan, kalau tidak mah "ehm.." jawab Nadin.
"Iya, kalau tidak mah "ehem" " kata Maryam ikut-ikutan..

Aduh.. duh.. pusyiiing deh... ehhmmm.. ehm.. mmm.... 
^#%^&%&%&^#$QW#&$%*&^#%&* 

Mudah-mudahan kosakata 'ehmm'nya nggak nambah lagi deh.. :)

Sunday, December 12, 2010

Quark - Grieß - Pfirsich - Auflauf


Description:
Asli kue ini ENAAAAAKKKK bangettttt.. Sayangnya si akang gak suka, soalnya teksturnya agak-agak basah gitu, katanya. Duh, justru itu yang bikin enak, gak bikin tenggorokan sakit saat menelan.

Bisa nyasar ke resep ini gara-gara salah membeli Grieß untuk membuat Grießnockerlsuppe, seharusnya Hartweizengrieß, yang saya beli malah Weichweizengrieß, alhasil Grießnockerl-nya hancur minah.. gak ada yang utuh satu pun. Jadi butuh pelampiasan resep untuk memanfaatkan Grieß yang tersisa.

Resep asli diambil dari sini

Ingredients:
100 g Mentega
100 g gula pasir
4 buah telur, dipisah
1 bungkus vanili
500 g Magerquark
80 g Weichweizengrieß
1 kaleng Pfirsich (Persik)
Mentega untuk loyang

Directions:
1. Panaskan oven pada suhu 175 derajat celcius

2. Persik dibuang airnya, kemudian dipotong-potong.

3. Kocok putih telur sampai kaku, simpan.

4. Kocok mentega, gula, dan vanili sampai berbuih, kemudian masukkan kuning telur sedikit demi sedikit, lalu masukkan Quark dan Grieß.

5. Masukkan putih telur yang sudah kaku, aduk.

6. Masukkan persik yang sudah dipotong-potong, aduk.

7. Masukkan ke dalam loyang yang sudah diolesi mentega, ratakan permukaannya.

8. Bakar selama kurang lebih 50 menit, setelah hampir 30 menit tutupi loyang dengan kertas roti agar tidak gosong permukaannya.

Pizza Keong


Description:
Ini juga makanan favorit anak-anak. Pertama kali makan Pizza Keong di rumahnya Bude Ninoek di Hamburg. Maryam tampaknya ingat sekali, sesampainya kami di Hamburg tengah malam, di saat orang lain sudah tidur semua, Bude Ninoek telah menyiapkan berbagai macam cemilan di meja. Waktu itu gak kepikir gimana membuatnya.. dan tak bertanya pula, karena tampaknya pasti repot.

TAPI tiba-tiba di suatu waktu, bak mendapat ilham dari langit, sayapun mencoba membuatnya, "kayaknya kalau diginiin, terus digituin.. nanti bakal jadi keong deh.". Dan tadaaaaaa... beneran jadi. Anak-anak kegirangan donk, akhirnya bisa makan Pizza Keong kayak yang Bude Ninoek bikin.. yuhuuuuuy..

Dan ternyata si Pizza keong ini bikinnya lebih gampang dari Pizza Tasche yang memiliki resiko bocor sana-sini.. dan tentunya lebih cepat!

Ingredients:
Bahan roti:
250 g tepung terigu
5 g Hefe/ragi a.k.a fermipan --> saya biasanya memakai frische Hefe (balok)
1/2 sdt garam
1 sdt gula
150 mL --> kemungkinan tidak terpakai semua
minyak zaitun/minyak sayur juga bisa

Bahan topping:
tomat, bisa pakai tomat di kemasan tetra pak, ataupun saos tomat biasa, sesuai selera lah.
corned beef, tuna kaleng, atau apapun sesuai selera (kalau bisa jangan yang terlalu tebal-tebal, biar pas digulungnya bagus, gak benjol-benjol)
keju mozzarella parut --> lebih gampang pakai yang sudah diparut daripada yang putih bulat itu.

Directions:
1. larutkan Hefe dalam air hangat, biarkan kira-kira 10 menit
2. siapkan tepung terigu, garam dan gula dalam wadah
3. masukkan Hefe yang sudah dilarutkan
4. tambahi air sedikit demi sedikit sampai kalis.
5. terakhir tambahkan sedikit minyak
6. simpan adonan kalis dalam wadah yang sudah diolesi minya
7. simpan di tempat hangat selama kurang lebih 1 jam
8. setelah 1 jam, pukul adonan sampai kempes
9. ambil sekepal adonan, ratakan sampai mencapai ketebalan yang diinginkan. (kalau bisa setipis mungkin, karena setelah dibakar, dia kan mengembang)
10. bubuhi tomat, taburi corned beef atau yang lainnya, terakhir taburi keju sampai semua permukaan rata dengan topping.
11. gulung, sepadat mungkin
12. potong-potong dengan ketebalan sekitar 3 atau 4 cm.
13. simpan di atas loyang dengan motif keong menghadap ke atas
14. bakar sampai matang.

Nudel Suka-suka


Description:
Nudel ini jadi makanan favorit anak-anak akhir-akhir ini. Padahal di Kindergarten mereka sudah makan Nudel, tapi gak pernah keberatan kalau di rumah makan Nudel lagi, gak ada bosennya memang..

Awalnya gara-gara de Syifa dibekali kayak spaghetti panggang gitu ke TPA sama mamahnya. (Hebat Kak Uchie ini, udah mah super sibuk, tapi masih sempat bikin bekal untuk anak-anaknya.) Ternyata Maryam jatuh hati sama Nudel panggangnya de Syifa itu, sampai di rumah dia mau lagi. Waduh, telepon Kak Uchi gak punya, nyari di Google malah pusyiiing.. terlalu banyak alternatif. Akhirnya saya teringat dengan resep Lasagna yang diajari Bibi Husnul. Ok deh, akhirnya dibikin dengan resep itu. Rasanya masih mantep punya Kak Uchi.. tapi yang ini juga lumayan bikin lidah bergoyang.. :D

Ingredients:
400 g Nudel/Pasta, bentuk apa saja sesuai selera, kalau saya selalu yang anak-anak mau. :D
1,5 pak Tomatenstueckchen (tomat dalam tetrapak itu lho, kalau pake tomat asli tentunya rasanya lebih segar)
200 g Sahne (double cream)
1 buah bawang bombay
200 g daging cincang/ayam cincang --> sesuai selera
beberapa sayuran (jamur, zucchini, wortel, paprika) --> sesuai selera
Keju parut untuk taburan

Directions:
1. Masak Nudel sesuai dengan petunjuk kemasan, biasanya saya tambahi sedikit garam dan sedikit minyak.
2. Tumis irisan bawang bombay sampai harum, masukkan daging cincang/ayam, tumis sampai berubah warna
3. Masukan sayuran yang sudah dipotong kecil-kecil
4. Masukkan tomat, bumbui (garam, merica)
5. Masukkan Sahne, jangan dimasak terlalu lama.
6. Angkat panci dari kompor, masukkan Nudel yang sudah dimasak, aduk rata
9. Masukkan ke loyang, taburi keju, panggang sampai berwarna coklat keemasan.

Thursday, December 9, 2010

Breze HALAL

Breze merupakan salah satu roti khas dari daerah Jerman Selatan, roti ini mulai dibuat sejak abad ke-14. Di Munich, tempat tinggal saya biasa disebut Breze (tunggal)/Brezen (jamak). Di beberapa daerah lain, namanya bisa sedikit berbeda. Dalam Althochdeutsch disebut Brezitella, di daerah Bavaria dan Austria biasa juga disebut Bretzel, Brezl, dan juga Breze. Di daerah Wina biasa disebut Brezerl, di daerah Schwaben biasa disebut Brezet atau Bretzg/Bretzga (jamak) dan di daerah berdialek Badisch-Alemannischen lebih dikenal dengan nama Bretschl.* Atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Pretzel.

Karena kami tinggal di sarangnya, maka roti ini bisa ditemukan dimana saja, di toko roti besar ataupun kecil, sudah seperti menu wajib tukang roti lah. Bahkan di pedagang makanan di atas kereta api pun, satu-satunya roti yang dijual adalah roti ini. Awalnya saya tidak suka dengan Breze, karena penampakannya yang cukup keras dan garam segede-gede gaban yang menghiasi permukaannya ditambah lagi dengan provokasi seorang ibu yang menyebut "saking kerasnya itu Breze, bisa dipakai untuk melempar anjing", cukup membuat selera untuk memakannya hilang. Tapi setelah di coba, tekstur dalamnya yang lembut-lembut kenyal, ditambah wangi dan rasanya yang cocok di lidah saya, cukup membuat saya ketagihan. Jika tidak merasa cocok dengan Breze normal (hanya dipakaikan garam), kita bisa memilih Breze lain yang sesuai selera, dari mulai yang dipakaikan butter, keju, bahkan berbagai macam kacang-kacangan. Oya, Breze juga bisa bikin perut kenyang tahan lama. Percaya atau tidak, si emang-emang kuli bangunan yang badannya segede-gede kingkong itu, makan siangnya cuma Breze lho.. (tapi gak tau ya habis berapa biji?) :D

Kalau ingat Breze, saya jadi ingat teman saya, Megumi namanya, dari Jepang tentu saja. Daripada membeli Butterbreze yang harganya dua kali Breze normal, dia lebih suka membeli Breze normal dan bawa butter sendiri, lalu dicolek-coleknya butter dengan potongan-potongan Breze dari tangannya. Ide bagus juga untuk menghemat.

Breze juga banyak disuka anak-anak, bahkan bayi yang belum genap satu tahun umurnya. Selain bentuknya yang mudah dipegang oleh tangan-tangan mungil, juga kenyal-kenyalnya yang enak dipakai mengasah giginya yang baru tumbuh. Anak-anak saya pun begitu, kecuali Ligar yang mengalami bibir jontor ketika pertama kali menjilatnya. Tapi alhamdulillah sekarang dia sudah bisa ikut makan juga.

Tiba-tiba, seorang teman mengingatkan saya bahwa Breze sebenarnya menggunakan Schweineschmalz (lemak babi) dalam pembuatannya. Setelah saya mencari-cari info (selain dari link yang dikirim teman saya), ternyata berita itu memang benar adanya. Kenapa baru tahu sekarang? kenapa tidak bertanya-tanya sejak dulu? bahkan kata salah satu teman saya, sebenarnya ini isu sejak dulu. Memang, sejak saya pertama kali datang ke Jerman, saya mendengar bahwa roti pun bisa jadi ada kemungkinan tidak halalnya. Tapi berdasarkan informasi dari seorang teman, toko roti M katanya aman, makanya saya selalu membeli roti di sana tanpa tanya-tanya lagi, ditambah lagi kondisi saya waktu itu yang gaptek dan gabah (gagap bahasa!)

Sekarang lain ceritanya ya, karena dulu cuma "katanya-katanya", tanpa tahu siapa yang menanyakan langsung, sekarang saya harus menanyakan sendiri sebelum membeli. Tapi berdasarkan pengalaman dengan kasus Ligar alergi, biasanya pelayan di toko roti tidak tahu apa-apa, bahkan roti A mengandung telur atau tidak pun, mereka tidak tahu, apalagi jika kita menanyakan lemak yang dipakai lemak babi atau tumbuhan? Makanya saya inisiatif untuk menanyakan langsung ke perusahaannya, kebetulan toko-toko roti yang biasa saya beli memang cabang-cabang dari toko roti besar, yang pasti rotinya sudah dibuat di pabriknya.

Bagaimana caranya? cukup mengandalkan google dengan bahasa Jerman pas-pasan saya. Perusahaan-perusahaan di Jerman hampir bisa dipastikan memiliki website. Makanya kita cukup mencari website perusahaan yang bersangkutan di google. Kalau sudah masuk, tinggal cari kontaknya, dan langsung kirim email pada pihak yang bersangkutan. Biasanya paling lambat keesokan harinya mereka sudah menjawab email kita. 

Berikut ini adalah hasilnya yang alhamdulillah mayoritas aman, untuk yang tertarik membaca suratnya, saya copy-paste di bagian paling bawah ;)

  1. Mueller --> Aman!
  2. Rischart --> Aman!
  3. Zöttl --> Aman!
  4. Muenchner Backstube --> Aman!
  5. Ditsch --> Aman!
  6. Muenchen-Baeckerei Günthner & Schmidt --> Aman!
  7. Brezelina --> belum jelas!
***********************************
Sehr geehrte Frau Martiana,

vielen Dank für Ihre E-Mail.

Mit Freude darf ich Ihnen mitteilen, dass bei der Müller- Brezenherstellung ausschließlich rein pflanzliche Rohstoffe eingesetzt werden.

Ich hoffe Ihnen mit dieser E-Mail weitergeholfen zu haben und wünsche Ihnen noch einen schönen Tag.

Mit freundlichen Grüßen
Ihr Kundenservice von MÜLLER-BROT
Harald D

***********************************

Sehr geehrte Frau Martiana,

vielen Dank für Ihre Anfrage und dass Sie sich damit an

Rischart`s Backhaus gewendet haben.

Ich kann Ihnen mitteilen, dass unsere Brezen und auch die

Brote, sowie alle anderen Backwaren kein Schweineschmalz enthalten.

Wir verarbeiten ausschließlich Butter und pflanzliche Fette.

Mit freundlichen Grüßen

Ihr Team von Rischart`s Backhaus“

Ursula Sch

Max Rischart's Backhaus KG

80469 München

***********************************

Sehr geehrte Frau Martiana,

 Ihr Frage klingt für unsere Bäcker sehr ungewöhnlich.
 Nein, weder in den Semmeln noch beim Brot wird (Schweine-)Schmalz verwendet.

 Mit besten Grüßen
Richard O
Bäckerei Zöttl 

***********************************

Sehr geehrte Frau Martiana,

unsere Produkte sowohl Brezen, Brotprodukte als auch Gebäck enthalten kein Schweineschmalz. Es werden nur Pflanzliche Fette verwendet.
Mit freundlichen Grüßen
i.A. Hiller 
Muenchner-Backstube

***********************************

Sehr geehrte Frau Martiana,

unsere Laugenprodukte sind frei von Schweineschmalz.

Mit freundlichen Grüßen
i.A. Nina E
Sachbearbeiterin Handel - Innendienst 
Brezelbäckerei Ditsch GmbH 

***********************************

Sehr geehrte Frau Martiana,

in unseren gesamten Produkten verarbeiten wir nur pflanzliche Fette.

Mit freundlichen Grüßen
Andreas G 
Muenchen-Baeckerei Günthner & Schmidt

***********************************

Sehr geehrte Frau Martiana,

wir werden gerne Ihre Anfrage prüfen und geben Ihnen dann umgehend Bescheid.
Mit freundlichen Grüßen
i. V. H Peters
Bavaria Food GmbH (Brezelina) 
***********************************

*diambil dari Wikipedia

Monday, December 6, 2010

Echo.. cho.. cho.. cho..


"Banyak anak banyak rejeki" kalau kata orang tua jaman dulu. Kalau kata orang Jerman, "banyak anak banyak kerjaan". Hm.. kalau kata saya mah "banyak anak banyak tertawa". Serius ini, saya sudah cukup banyak tertawa dengan tingkah ketiga anak saya yang bodor-bodor.. rasanya tak perlu lagi hiburan lainnya untuk bisa tertawa. Ini salah satu cerita lucu lagi. ;)

Jadi ceritanya waktu hari Sabtu kemarin, kami bermain seluncuran, mumpung salju masih bisa dipakai bermain. Mainnya gak jauh-jauh sampai ke Alpen segala, cuma di situ aja, di dekat halte St. Quirin Platz ada taman yang miring gitu, kalau musim panas bisa dipakai lari-larian, kalau musim dingin bisa dipakai main seluncuran. Yang penting anak-anak senang deh.

Pas bagiannya Ligar dan si akang yang main seluncur, Nadin, Maryam dan saya menunggu di atas. Yah, gara-gara di papan ada tulisan maksimal 50 kg, si akang tidak mau memakai satu papan, maunya dua, katanya. Jadinya yang lain nganggur deh. Terus tiba-tiba Nadin teriak memanggil bapaknya, "Papah!!! Papah!!!". Sayup-sayup terdengar ada suara yang mengikuti.

Kata Nadin, "Eh, ada echonya ya di sini?! Papah!! Papah!!"
"Eh, iyaya?!" timpal saya.

Maryam tampak mencari-cari sesuatu, terus tiba-tiba turut bicara,
"Mamah, echo tuh ini ya?!" tanyanya sambil menunjuk jejak bekas papan seluncur.
"Oh, bukan, Echo itu suara yang mengikuti kalau Maryam teriak. Kayak tadi ceuceu teriak Papah, terus dibelakangnya ada yang ikutan pah.. pah.. pah.. gitu. Atau misalnya teriak Mamah!! mah! mah! mah! Nah yang kayak gitu Echo"
"Oh" katanya tanda mengerti.

Si akang pun datang, tiba giliran saya dan Maryam yang meluncur bareng, Nadin sudah bisa sendirian. Ketika meluncur, seperti biasa Maryam teriak kegirangan, 

"Wuuuuuuuuuhhhh... wuh.. wuh.. wuh.." katanya. 
Saya heran, kenapa teriakannya jadi berulang begitu? Setelah turun dr papan seluncur, dia kemudian berkata, "wah, tadi ada echonya ya, Mah?? wuuuuuh.. wuh.. wuh.. wuh.."

*gubrag*

Sunday, December 5, 2010

Krisis Rambut Keriting

Saya memiliki dua orang putri, wajahnya sama, tapi rambutnya sangat berbeda, yang satu lurus bak rambut jagung, yang satu lagi keriting bak bulu domba. Serieus ini... Kok bisa? ya bisalah.. memang kedua gen itu ada di keluarga kami. Sekarang putri-putri saya ini sedang kena demam Prinzessin (putri), yang identik dengan rambutnya yang terurai panjaaaang. Jadi mereka tidak mau lagi rambutnya dipotong.

Si Kakak yang berambut lurus, tentu saja lama kelamaan menampakkan hasil, rambutnya sudah mulai kelihatan panjang. Sedang si adik yang berambut keriting, tak nampak juga hasilnya. Akhirnya dia kesal dan menganggap rambutnya jelek karena gak panjang-panjang, rambutnya terangkat ke atas lagi-ke atas lagi katanya. Pokoknya dia tidak mau rambutnya keriting!

Ah, krisis rambut keriting, saya bisa merasakan sekali apa yang dirasakan putri saya ini, karena dulu pun saya begitu, benciiiiiiii dengan rambut keriting. Apalagi ditambah teman-teman yang mayoritas rambutnya lurus, ditambah lagi model-model iklan shampoo yang selalu berambut lurus. Grrrrrhhh..

Tapi kalau melihat putri saya sekarang, apa sih yang salah dengan rambut keriting? yang ada malah lucu, lucu banget, adorable we pokoknya mah. Tapi untuk penderita, tidak begitu adanya, meski ada sejuta orang memuji, rasanya malah makin jijik.

Setiap kali dia menangis kesal, saya bilang bahwa,
"Maryam cantik kok dengan rambut keriting."
"Tapi Maryam gak mau keriting, Maryam maunya panjang kayak Ceuceu!"
"Maryam juga rambutnya panjang kok, coba nanti lihat kalau mandi ya.."

Ups.. ternyata kalimat ini salah, akhirnya membuat dia tidak mau beranjak dari kamar mandi, karena saat di sana rambutnya panjaaaang, katanya. Dan memang aneh sih, begitu kena anduk, itu rambut udah melingker lagi ke atas, hehehe.. Makanya pas musim panas, Maryam sering sekali mandi agar bisa berambut panjang.

Beberapa minggu pause, saya tidak lagi mendengar jerit kesalnya. Tiba-tiba kemarin begitu lagi. Pas mau pergi sekolah, kembali dia marah-marah karena tidak mau keriting. Dan seperti biasa juga saya bilang bahwa dia cantik dengan rambut keritingnya.
"Maryam, tau kan kalau waktu kecil Mamah juga keriting? Dulu waktu kecil, Mamah juga gak mau rambut keriting. Tapi sekarang udah gede, malah hilang keritingnya, Mamah malah mau keriting lagi kayak Maryam. Gimana donk?"
"Maryam waktu kecil gak mau keriting! udah gede juga gak mau keriting!!!"
*halah*

Di luar itu, ternyata tetangga kami, Frau Sch*nn, sekarang rambutnya jadi keriting. Ibu ini dan suaminya adalah salah satu fans anak-anak saya, sampai2 suaminya minta foto bareng segala.. (tp msh blm sih sampe skrg). Salah satu gurunya Maryam, Frau S***l, juga rambutnya dikeriting sekarang. Terlepas apakah mereka terinspirasi Neng Iyam ataukah bukan, bisa dijadikan alasan lagi ke Maryam bahwa rambutnya banyak disuka orang.

"Tuh, Maryam, lihat Fr. Sch**n dan Fr. S***l sekarang rambutnya jadi keriting, itu karena mereka suka sama rambutnya Maryam."
"Tapi Maryam gak suka sama rambutnya Maryam!"
*teuteup*

Saturday, December 4, 2010

Tiba-tiba kangen Bapa

Setelah tiga jam jalan-jalan keluar masuk toko (toko asia, toko turki, toko drogerie, dan kawan-kawannya), akhirnya saya pun siap kembali ke rumah. Sayangnya, ternyata bus yang harus saya naiki baru saja lewat di depan mata, artinya saya harus menunggu bus berikutnya 10 menit kemudian. Dalam keadaan lapar dan kedinginan, saya mencoba mengorek-ngorek hasil belanjaan tadi, siapa tahu ada sesuatu yang bisa mengganjal perut sebelum sampai rumah, dan ternyata saya menemukan Actimel Strawberry, favoritnya anak-anak. 

Setelah saya teguk, rasa minuman itu mengingatkan saya akan minuman yang selalu bapa saya jadikan oleh-oleh setiap hari Sabtu. Eh, tiba-tiba pikiran saya menerawang ke masa kecil saya dulu, yang membuat saya senyam-senyum sendiri di halte bus. Ya, waktu saya kecil, hari Sabtu adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Kenapa? Karena setiap hari Sabtu Bapa saya harus pergi ke Bandung untuk belanja memenuhi kembali stok barang di toko kecilnya. Terasa sepi tentu saja, tapi malamnya saya bakalan hepi. Bapa, tak pernah lupa membawa oleh-oleh spesial buat saya. Tak mahal-mahal, hanya sekedar roti Sidodadi (masih ada gak ya sekarang?), beberapa buah permen loli, satu pak Vita-Charm, atau sekedar satu rol permen stroberi yang dibeli dari pedagang asongan di bus. Tapi hati ini bahagiaaaaa sekali. Rasanya tidak pernah sekalipun saya dikecewakan bapa pulang dengan tangan kosong waktu itu.

Hari Sabtu tak hanya istimewa buat saya yang ditinggal pergi, tapi juga menjadi hari dimana hidup tersambung kembali buat kakak-kakak saya. Ya, ketujuh kakak saya semuanya sekolah dan kuliah di Bandung. Jadi, selain untuk belanja, bapa juga datang untuk menengok dan mengisi kembali dompet ketujuh kakak saya. Biasanya hanya salah satu yang punya waktu luang saja yang janjian ketemu bapa di Alun-alun. Ah, kalau ingat ini, saya jadi ingat salah satu kakak saya yang paling sering kebagian tugas ketemu sama bapa, dan dia paling sering nyasar.. hahaha.. Katanya dia sempat salah naik angkot sampai nyasar ke Bandung coret. Tapi dia bersikeras tidak mau turun, dan minta dianterin supir angkot sampai rumah saking takutnya. Ya ampuuuun.. untung supir angkotnya baik.. beneran, kakak saya dianterin sampai jalan Siliwangi.. :D Yang lucu lagi, saat ketemuan sama bapa, bapa tanya, "tau jalan pulang kan?". "Tau." jawabnya sambil menunjuk arah yang berlawanan dari yang seharusnya.. jelaslah bapa saya tidak percaya. Akhirnya sejak saat itu, siapapun (anak perempuan bapa ada 4), kalau habis ketemuan, dianterin sampai naik angkot menuju rumah. Padahal tadinya kami kan ingin cuci-cuci mata dulu di Alun-alun.. :D

Nah, kalau saya mah beda, saya gak pernah nyasar kayak gitu. Iyalah, soalnya pas jaman saya sekolah, Bapa yang datang ke rumah kontrakan dan menginap semalam di sana. Kayaknya saya lebih tidak dipercaya lagi sama bapa.. :D

Ah, kenapa ya, selama 10 menit menunggu bus, tiba-tiba saja klip-klip indah kenangan kami bersama Bapa bermunculan kembali, Bapa yang galak, Bapa yang baik, Bapa yang lucu, Bapa yang kangen cucu... dst. Di tengah-tengah udara dingin seperti itu, muka saya mulai menghangat, dan pipi pun terasa basah. Ow.. ow.. langsung saya lap pipi saya dan sedikit menyembunyikan muka dari orang lain (khawatir disangka yang nggak-nggak), sayangnya suara hidung saya tak bisa disembunyikan.. Ah, Bapa, kenapa saya tiba-tiba kangen Bapa?? Ingin rasanya saya cepat-cepat pulang dan memeluknya, mencium tangannya, bercengkerama bersama anak-anak dan membalas semua kebaikannya. Tapi apa daya, selama ini ternyata saya belum bisa memberikan apa-apa, bahkan untuk membalas kebahagian permen loli demi permen loli setiap Sabtu itu aja rasanya saya belum bisa. Mudah-mudahan saya masih diberi-Nya kesempatan untuk itu.

Thursday, December 2, 2010

Tamu Istimewa

Hari ini kami kedatangan tamu istimewa. Kenapa Istimewa???
karena..
  1. dia hanya datang berkunjung sekali dalam setahun, setiap akhir tahun.
  2. yang dia kunjungi bukan hanya kami, tapi semua penghuni gedung tempat kami tinggal, bahkan gedung sebelah juga. :D
  3. orangnya egois. Serius!!! Pertama dia yang menentukan waktu kapan dia akan berkunjung dengan menuliskan tanggal dan jam pada kertas yang ditempel di pintu keluar dan lift, tanpa bertanya kami bisa atau tidak. Pokoknya HARUS BISA! Kalau tidak, berarti kami harus membuat janji khusus dengannya, tentu saja dengan membayar biaya ekstra. 
  4. dan juga rewel! Dia menuliskan list apa saja yang harus kami siapkan untuk menyambut kedatangannya di rumah kita. Intinya sih rumah harus beres, terutama di spot-spot yang akan dia kunjungi.
Oww..oww.. siapa dia????

Dia adalah petugas Jahresablessung. Petugas ini hanya bertugas mengganti meteran Heizung (pemanas ruangan) yang lama dengan yang baru, kemudian mencatat hasil pemakaian dari meteran lama. Hasil itung-itungannya akan keluar sekitar bulan April nanti. Saat itulah yang bikin lebih deg-degan, bak membuka surat balasan cinta, ini dapat uang kembali atau harus nombok ya??? Jadi di sini, kami membayar uang pemanas rutin setiap bulan dengan jumlah tertentu, tapi dihitungnya per tahun. Jadi di akhir tahun itu baru dihitung, kalau pemakaian lebih banyak dari yang kita bayar per bulannya, maka harus nombok. Tak hanya itu, cicilan bulanan untuk tahun berikutnya juga bakal dinaikkan sesuai dengan pemakaian kita di tahun tersebut. Dan hal sebaliknya terjadi kalau pemakaian ternyata lebih sedikit dari yang kita bayarkan. Prinsip yang sama juga berlaku untuk pemakaian listrik.

Di tahun-tahun sebelumnya, biasanya kami mendapat jadwal tengah hari, sekitar pukul 12-13, pas anak-anak sedang sekolah. Tapi kali ini kami kebagian jadwal sore, sekitar pukul 15-16. Jadi pagi-paginya saya beres-beres rumah sampe setengah mati gitu lah, berhubung pemanas ada di setiap ruangan, maka ke setiap ruang itu pula si emang akan datang.


Sepulangnya anak-anak dari sekolah, langsung saya sibukkan dengan membuat kue kering, biar mereka tidak berulah dulu sebelum si emang datang. Tapi apa hendak dikata, karena kami tinggal di lantai paling atas, maka kami orang terakhir yang dikunjungi. Sebelum si emang datang, anak-anak udah bosen dan cape katanya. Ya udah deh, biar Mamah lanjutin, tapi kalian bantuin menyimpan kuenya ke loyang ya.. kata saya, biar anak-anak masih tetap ngumpul di meja. :D

Saat bel berbunyi, semua langsung bubar. Mereka senang banget kedatangan tamu soalnya. Pas si emang masuk, itu yang namanya dibuntutin sama yang berdua itu.. hehehe... sampe si emang salah tingkah dibuatnya. Saya melanjutkan mencetak kue. Tiba-tiba Maryam datang,

"orangnya kemana-mana, Mamah.. sekarang lagi di kamar Mamah.. hihihih" cungar-cengir kegirangan, terus balik lagi lari menuju si Emang. Gantian Nadin yang datang,
"Sekarang lagi di jamban.. huehehehhe." sambil setengah berbisik.. padahal kalo teriak juga si Emang gak bakalan ngerti. Dan dia pun kembali membuntuti.. :D

Trus tiba2 dua-duanya datang sambil berlari, "sekarang dia ke sini!! ke sini!!"
hahaha... sakit perut saya nahan ketawa.. Kalau ketawa, nanti disangkanya ngetawain si emang lagi.. Dan akhirnya, si emang pun selesai. Ya, kunjungannya hanya sebentar, paling 15 menit gitu, persiapannya yang lama.. Doh, tinggal nunggu hasilnya ini.. Tahun kemarin sih kami berhasil nih diet Heizung, tapi gak tahu tahun ini.. Winternya duingiiiiiiinnnnnn euy!!

Friday, November 19, 2010

Menukar uang kecil

Sebagai anak seorang pedagang eceran, tentunya saya sudah tidak asing lagi dengan tukar- menukar uang kecil. Bapak saya selalu membutuhkan uang kecil ini untuk uang kembalian para pelanggan yang belanja di toko kami. Di saat kami harus memberi uang kembalian, dan kotak kecil tempat koin-koin recehan itu kosong.. wuuuuhh.. rasanya seperti mendapat bencana. Karena itu tandanya kami harus segera berlari menukar uang kecil pada pedagang terdekat, seperti si ujang tukang rokok, atau si Teteh kupat Tahu, dll. Dan itu tandanya pula kalau si pelanggan harus menunggu beberapa saat sampai kami mendapatkan uang kecil. Ah, benar-benar tidak enak membiarkan pelanggan menunggu. Makanya, untuk jaga-jaga, meskipun uang kecil masih ada di kotak, tapi bapak saya suka menukar uang kecil yang banyak dari mesjid sekalian sambil menunaikan sholat.

Nah, tidak disangka, meski sekarang saya tidak berdagang seperti bapak saya, namun pada kenyataannya saya tetap berhubungan dengan tukar-menukar uang kecil ini. Saya membutuhkannya untuk mencuci baju. Ya, kami memilih untuk tidak memiliki mesin cuci sendiri. Selain karena tidak ada cukup ruang untuk itu, juga (berdasarkan itung-itungan si tukang insinyur) energi yang digunakan lebih hemat kalau kami memakai mesin cuci bersama yang disediakan bapak kos di ruang bawah tanah. Dulu, kami mengandalkan uang kembalian dari toko saat belanja untuk keperluan mencuci baju ini. Namun, sekarang uang kembalian sudah tidak bisa diandalkan lagi, karena produktivitas kami dalam mencuci baju meningkat drastis dengan bertambahnya jiwa dalam keluarga kami setiap 2 tahunnya.. :D

Oleh karena itu, dengan rutin saya menukar uang kecil ke Bank. Ada 2 bank yang pernah saya kunjungi. Pertama Deutsche Bank (di Marienplatz). Keuntungannya, mereka memiliki kassa khusus untuk penukaran uang dan kita tidak perlu memiliki rekening di sana untuk menukar uang (kalau tidak salah sampai penukaran 30 Euro, lebih dari itu kena biaya 5 Euro, cmiiw). Namun, kassa ini letaknya ada di lantai bawah. Jadi agak sulit lah untuk saya yang membawa stroller, kecuali stroller ditinggalkan di atas (jangan lupa anaknya harus di bawa ke bawah). Kedua, saya lebih sering menukar uang kecil ini di Postbank, bisa sekalian pas mengirim surat atau paket. Sayangnya, kalau di Postbank harus mempunyai rekening di sana (untungnya saya punya :D). Pada prinsipnya sama dengan Deutsche Bank, di sini hanya ada satu orang pegawai yang bertanggungjawab atas penukaran uang kecil ini. Sayangnya, si pegawai in charge tidak hanya melayani penukaran uang, namun juga melayani yang lain. Intinya, hanya ada satu antrian untuk masuk ke kasir yang manapun. Jadinya untung-untungan, kalau pas kebagian di pegawai yang itu, maka beruntunglah kita. Namun kalau tidak pas, maka kita akan dirujuk ke pegawai yang itu, dengan resiko menunggu lagi satu orang di depan kita yang sedang dia layani. Tapi ini bukan masalah besar lah ya, dan saya cukup puas menukar uang ke Postbank ini. Jadi semenjak itu, kami pun tidak pernah punya masalah "tidak bisa mencuci baju karena tidak punya koin". :D

Sekarang masalahnya lain lagi. Anak-anak saya yang rajin menabung selalu menghabiskan recehan dari dompet dan saku jaket saya untuk dimasukkan ke dalam celengan. Setelah penuh, bingung deh itu uang 1 dan 2 sen-an bejibun.. Kalau dibelanjakan, kapan habisnya?? Dulu waktu masih ada Mas Nano/Mbak Nuri sih gampang, tinggal colek mereka aja, dan kami akan bertemu di Sparkasse (nama Bank) untuk menukar isi celengan tersebut. Ya, di Sparkasse ada mesin penukar uang. Tinggal masukkan uangnya ke mesin, si mesin akan menyaring dan menghitung sendiri uangnya. Nanti si uang akan masuk ke rekening. Nah, itu lah masalahnya, kami tidak punya rekening di sana. Jadi sekarang tidak bisa seperti itu lagi. Bisa aja tentunya langsung ke Bank, namun saya tidak bisa bayangkan berapa lama saya harus berdiri di sana untuk menghitung uangnya satu per satu. Dulu pernah mengantar teman, lebih tepatnya si uang tidak dihitung, namun dimasukkan ke semacam cetakan yang sudah dipas untuk masing-masing koin, misal untuk 25 koin untuk pecahan 2 Euro-an, 25 koin untuk pecahan 1 Euro-an, dan lain-lain lengkap sampai pecahan 1 sen. Meski begitu, tetap perlu waktu untuk memasuk-masukkan uangnya ke dalam cetakan, keburu anak-anak saya bosan dan rewel.

Akhirnya kemarin saya tanyakan langsung ke pegawai kantor pos, siapa tahu mereka punya mesin seperti itu. Ternyata, mereka tidak punya. Namun si ibu punya solusi, dia bilang Postbank hanya menerima uang kecil yang sudah digulung. Jadinya saya dibekali segepok kertas warna-warni untuk menggulung uang-uang kecil di rumah. Di kertasnya sudah ada tulisan untuk pecahan uang berapa dan berapa bijinya yang harus dibungkus di situ. Tak hanya itu, si ibu juga mengajarkan saya bagaimana cara menggulung koinnya nanti. Di lipat sedikit di ujungnya, simpan koin di sini, lalu di gulung ya, katanya. Halah.. dasar orang Jerman.. semua sudah ada aturannya.. :D Tapi cara ini lebih praktis untuk saya, karena di rumah saya punya waktu lebih santai untuk menyortir si koin-koin ini.

Malamnya, setelah anak-anak tidur, saya pun mulai mengerjakan proyek ini. Si akang ikut-ikutan semangat membantu menyortir koin-koin berdasarkan besarnya, saya menghitung dan menggulung. Dan tadaaaaa... ternyata cepat sekali.. kayaknya gak sampai 1 jam.. Rasanya sudah ahli saja dalam hal gulung menggulung koin, hihihi.. sempat kepikiran untuk membuka penukaran uang segala *BisnisModeOn*. Esoknya saya tukarkan ke Postbank, bagaimanakah cara mereka mengecek kebenaran jumlahnya? dibongkar lagi? tentu saja tidak, yang benar adalah d i t i m b a n g.

Setelah mengalami dua cara penukaran uang yang berbeda, jadi kelihatan deh kelebihan dan kekurangan masing-masing metode. Kalau menggunakan mesin, semua uang kita bisa habis bis bis semua, namun uang-uang yang kotor dan tidak terdeteksi akan kembali lagi ke kita. Sedangkan dengan metode gulung-menggulung ini, uang-uang yang kotor pun bisa kita masukkan karena tidak akan kelihatan, namun menyebalkan jika jumlah si koin kurang satu biji saja dari jumlah yang seharusnya. Efeknya? jadi masih tersisa banyak di rumah. Tapi tak apalah, dibandingkan yang kemarin, hanya sejumlah ini mah bisa dicicil dibelanjakan saat jajan yang kecil-kecil.. :D

Wednesday, November 17, 2010

Kunjungan HNO 4

6 minggu sudah berlalu, sudah saatnya kontrol lagi. Yang saya senangi dari dokter HNO-nya Nadin yang ini, gak usah lama-lama bikin janji. Saya telepon paginya, dikasih jadwal untuk siangnya. Jarang-jarang lho ada praktek dokter kayak gini di Jerman.. :D

Kali ini, selain saya memeriksakan Nadin, saya membawa Maryam juga. Dia tidak mengeluh sakit sih, hanya kupingnya sangat kering dan terlihat ada kotoran juga di dalamnya yang tidak bisa saya ambil, khawatirnya lama-lama bakalan sakit juga seperti sebelumnya.

Seperti biasa, Nadin dilihat dulu oleh dokternya, "hm.. kondisinya tidak terlalu baik, apa anak ini sedang pilek?" tanyanya. Wah.. rasa-rasanya sih lagi sehat-sehat aja.. Duh, pernyataan dokter yang bikin deg-degan. Kemudian Nadin menjalani tes pendengaran seperti sebelumnya. Ternyata dilihat dari grafik, kupingnya masih problem seperti dulu, hanya sekarang sedikit membaik, katanya. Jadi diteruskan saja terapinya, dan kontrol lagi 3 bulan kemudian. Ada kemajuan juga nih kontrolnya, biasanya harus setiap 6 minggu.

Maryam? apa kabar dirinya? Alhamdulillah dia juga baik-baik aja.. dokter hanya membersihkan kotorannya saja dan menyarankan untuk meneteskan minyak bayi (baby oil) satu atau dua tetes setiap 2 hari agar kupingnya tidak kering, katanya. Dan dia juga harus kontrol lagi dalam 6 bulan. InsyaAllah, kalau masih di sini ya, Dok.. :D

Tuesday, November 9, 2010

Becak

Hari ini saya perlihatkan foto ini pada Nadin, untuk menyegarkan kembali ingatannya pada sebuah kendaraan bernama BECAK. Gara-garanya, saat kami menonton film The Swann Princess, saat adegan si putri naik kereta kuda, dengan lantangnya Nadin berkomentar, "Wah, Prinzessin-nya naik becak!". :D


Hm.. ternyata anak saya masih susah membedakan delman dan becak. :D Tapi setelah dipikir-pikir lagi.. wajar lah. Seumur hidupnya Nadin baru 4 kali pulang ke tanah kelahiran orang tuanya. Itupun hanya selama di kampung saya aja dia sempat naik becak. Hm.. kayaknya malah belum pernah naik delman, soalnya saya gak tega melihat kudanya yang kurus-kurus.. Nantilah kalau diberi ijin pulang lagi, kita puas-puasin naik becak ya, Nadin..


Eh, sebenarnya di Munich juga ada becak lho.. Tapi becak di sini bukan kendaraan umum seperti di kampung saya, melainkan untuk mengantar wisatawan berkeliling di pusat kota Munich saja. Tapi kami belum pernah mencoba menaikinya, kami kan bukan wisatawan.. (padahal mah males buka dompet buat bayar si emang bule. :D)

Thursday, November 4, 2010

satu kata dua arti

Beda anak, beda karakter. Yah seperti itulah kedua putri saya. Wajah boleh sama, tapi yang lain-lainnya sungguh berbeda. Termasuk dalam belajar bahasa, padahal dua-duanya sama-sama belajar dari NOL ketika masuk Kindergarten.

Nadin, sejak diberitahu bahwa bicara bahasa Jerman hanya di Kindergarten dan dengan orang Jerman saja, tidak pernah mengucap satu kata Jerman pun di rumah. Sampai-sampai ibunya tidak tahu sejauh mana dia bisa berkomunikasi, dan tidak percaya kalau ternyata kemampuan bahasanya ternyata cukup baik (setidaknya begitulah kata gurunya). Karena itulah, adiknya, meski punya kakak yang sudah masuk TK dan belajar bahasa Jerman, tidak pernah mendengar kosakata Jerman di rumah. Maka ketika Maryam masuk TK, itulah pengalaman pertamanya mengenal bahasa asing. Salah satu kelebihan Nadin adalah, dia bisa membedakan bahasa, meskipun bahasa yang sebenarnya dia juga gak ngerti, asal dia pernah mendengar bahasa itu, misal bahasa Turki dan bahasa Inggris. Dan di kepalanya dia, orang yang berbicara bahasa A, itu adalah orang A. Jadi ceritanya begini, waktu itu kami sedang liburan ke tempatnya mamang Yuki dan Bi Tuni di Weingarten. Suatu kali, anak-anak dan bapak-bapak belanja. Pulangnya, Nadin laporan pada saya, bahwa tadi di bus dia ketemu sama orang Inggris.

"Oya?? kok Nadin tahu dia orang Inggris?" tanya saya.
"Soalnya dia ngomong bahasa Inggris sama Mamang Yuki" katanya.

Lalu saya coba tanyakan ke si mamang, benarkah dia ngobrol sama orang Inggris tadi? Ternyata kata Mamang Yuki, dia ngobrol sama orang Thailand, tapi memang memakai bahasa Inggris.. Tuh, bener kan??!! 

Oya, ada satu kasus lagi. Suatu kali saya berpapasan dengan muslimah berjilbab, dan dia mengucap salam pada saya, 
"Assalamuálaykum."
Lalu Nadin bertanya, "kok orang itu bisa ngomong bahasa Indonesia?"

hihihi.. saya baru sadar saat itu, kalau selama ini dia mendengar kata "Assalamuálaykum" hanya saat kami berkumpul-kumpul dengan orang Indonesia. Lalu saya jelaskan, bahwa "Assalamuálaykum" bukan bahasa Indonesia, namun itu bahasa Arab. Tapi kata ini diucapkan oleh orang Islam. Saya beri contoh beberapa orang Islam dengan menyebut teman-temannya di TPA, juga teman-temannya di Kindergarten.

"Kok mamah bisa tau kalau si itu (temannya di Kiga) orang Islam?"
"soalnya mamahnya si itu pakai jilbab kayak mamah."
"kok mamahnya si anu gak pakai jilbab?"
yaaah.. memang panjang deh jadinya kalau ngobrol sama anak-anak.. Setelah saya bercerita panjang lebar, akhirnya dia mengerti juga.. ya, setidaknya diskusi akhirnya menemukan ujungnya saat itu.. hehehe..

Suatu pertanda dia mengerti, ketika datang emang DHL mengantar paket ke rumah kami. Saat itu sedang liburan sekolah, jadinya anak-anak di rumah. Seperti biasa, si emang mengucap salam dengan lantang setiap datang ke rumah kami. (Fyi, emang DHLnya orang Turki). Lalu Nadin langsung bertanya, "orang Islam ya?". Si emang dengar, lalu bilang "alhamdulillah." :)

Kalau Maryam (kelihatan) bisa menyerap bahasa cepat sekali, sampai-sampai bahasa Turki lebih dulu dia serap dibanding bahasa Jerman, hahaha... Dan karena dasarnya hobi ngomong, apa yang dia dapat di Kindergarten, dia bawa ke rumah.

Misalnya ketika saya ngomong, "Cepat.. cepat..".
Maryam akan bilang, "kalau orang-orang mah ngomongnya schnell.. schnell!!".
"Itu namanya bahasa Jerman!" kata Nadin.
Tapi tetep we Maryam gak peduli itu bahasa Jerman atau bahasa apapun, yang pasti "orang lain ngomongnya begitu" atau "di Kindergarten ngomongnya begini" :D

Gara-gara dua tipe anak yang berbeda inilah, kini kami mengalami hal baru di rumah. Dulu, saat Nadin baru masuk Kindergarten, kami tidak pernah ada "salah ngerti" ketika ada dua kata sama, namun berbeda arti. Tapi kini lain cerita. Misal dengan kata "kakak" dan "kaka", pengucapannya hampir sama, terdiri dari dua suku kata "ka" dan "ka". Kakak dalam bahasa Indonesia artinya sudah tau semua kan? Sedangkan kaka dalam bahasa Jerman merupakan bahasa anak-anak untuk ee. Ini bisa berarti kata kerjanya, ataupun kata bendanya. Makanya kaka ini adalah sesuatu yang menjijikan. Nah, kalau di rumah sedang berantem, pastinya saya bilang, "Nadin Maryam harus saling sayang donk, kan adik kakak.". Kalau dulu, saat kata ini keluar, gak pernah ada reaksi apa-apa. Kalau sekarang anak-anak pasti bilang, "Iiiiiii.." sambil cungar-cengir gitu lah.. yang pada akhirnya suka jadi lupa deh sama berantemnya.. :D Jadinya pikiran mereka jadi otomatis ke kaka yang itu tuuuh... Akhirnya suka saya luruskan, terutama pada Maryam (karena Nadin hanya ikut-ikutan iiii aja), bahwa ada dua kata kaka. Kalau di rumah, itu artinya saudara yang lebih besar, misalnya Nadin kakaknya Maryam, Maryam kakaknya Ligar. Tapi kalau di Kindergarten, berarti kaka yang itu yah.. "Iiiiiiiiii...." katanya lagi-lagi... hahahha..

Akhirnya Nadin pun turun tangan, 
"Maryam, kalau kaka-nya cuma k a k a.. itu artinya kakak adik. Tapi kalau ada h-nya itu artinya ee, denger ya.. kah kah.. " (fyi, kata kaka dalam bahasa jerman memang rada2 mirip dengan huruf kaf dalam bahasa Arab, rada2 ada h-nya di belakang)

Ceila.. adiknya mana ngerti dijelasin pakai alphabet.. hahah.. 

tes membaca :)

Kemarin kami mendapatkan kiriman paket dari Indonesia (via Duesseldorf :D), isinya macam-macaaaam deh.. (makasih untuk sobat saya yang setia sejak dulu, Neng Lenny tea dan akangnya). Anak-anak senang bukan kepalang, selain mendapatkan aksesoris rambut yang pinky-pinky dan lucu-lucu, mereka juga mendapat beberapa majalah anak-anak.. dan tentu saja.. psssttt.. beng-beng.. hihihi... (spesial buat Neng Iyam).

Salah satu majalah anak-anak tersebut berhadiah sepaket kartu. Tampaknya itu adalah Flashcard. Maklumlah saya belum pernah melihat Flashcard seperti apa, hanya tau definisinya saja, kartu bergambar lengkap dengan tulisannya, betul? Eh, tapi kalau tidak salah Flashcard itu tulisannya harusnya di balik gambarnya ya? (cmiiw). Kalau yang ini kartu bergambar disertai tulisan dibawah gambarnya.

Iseng-iseng, saya jadi ingin mengetes kemampuan membaca Nadin. Terus terang, saya belum pernah mengajarkan dia serius membaca. Dia mengenal Alphabet pun bukan karena diajarkan, tapi karena dia bertanya ini apa itu apa (kami memiliki seperangkat buku cerita alphabet, jadi sambil bercerita, sambil mengenal huruf). Beberapa bulan terakhir ini, saya baru mengenalkan bunyi saja. Tapi luar biasa, dia mulai bisa menganalisis huruf dengan sendirinya. Misalnya ketika mendengar kata buku, dia bisa tahu bahwa huruf awalnya B, ada U-nya juga, katanya. Jadinya kami sekarang bisa bermain "gagarudaan" (mencari kata berawalan huruf tertentu yang dihitung dari jari).

Dan akhir-akhir ini dia mulai bisa membaca tampaknya, terbukti ketika belanja misalnya, tiba-tiba dia menyebut merk-merk barang yang terpajang di toko, seperti HIP, Bebe, dll. Masih kata-kata yang sederhana sih, tapi cukup membuat ibunya terpesona. :D

Kembali ke ide tadi, saya perlihatkan kartunya pada Nadin.
"Nadin, jangan lihat gambarnya ya, coba kamu baca tulisannya di bawah, ok?"
"Timun." katanya setelah berpikir beberapa detik.

Wow.. kerreenn.. saya yakin 100% kalau ini hasil membaca, karena biasanya dia menyebutnya "bonteng" bukan timun. :D Lanjuuuuttt...

"kalau ini?" sambil memperlihatkan gambar kucing. Fyi, biasanya dia menyebutnya miaw.
"Kucing!" katanya mantap.

Wow, hebat bener nih anak.. tadinya disangka dia bakal bacanya kucin atau kucig. Berarti dia masih ingat penjelasan saya tentang "ng" dibaca "eng". Berikutnya..

"Apel!"
"Monyet!"
"Jeruk!"
"Anjing!"
"Jagong!"

$^$#%&^%$^#&%Q

"ulangi!" kata saya.
"jagong!"
"eh, lihat hurufnya sama Nadin ya.."
"iya bener kok jagong.. tuh gambarnya juga jagong!"

halah.. ketahuan deh ah.. :D

Setelah diperlihatkan lebih jelas dan dibaca bareng saya, akhirnya dia tau deh kalau yang benar adalah "jagung". Jadi bahasa Indonesianya jagong itu jagung ya? katanya.. Ah, saya sendiri tidak menyadari kalau selama ini dia tidak mengenal jagung.. :D Ya ampuuuuunnnnn.. ada berapa puluh kata lagi ya yang seperti ini? bahasa Sunda dan Indonesia masih nyampur.. duh, tugas berat buat Mamah euy!

Friday, October 29, 2010

Papa dimarahin

Alhamdulillah, setelah seminggu ini Maryam menderita radang tenggorokan (lagi?!), hari ini sudah bisa masuk sekolah lagi (hari terakhir sebelum liburan musim gugur minggu depan :D). Kemarin pagi saya lihat kondisinya sudah membaik dan bisa sekolah lagi, sambil bermain-main peluk-pelukan di bawah selimut, sambil saya ajak ngobrol,

"Maryam besok ke Kindergarten lagi ya?!"
"Ok." jawabnya singkat.
"Mau dianterin sama Mama atau Papa?"
"si Papa kalau ke Kindergarten suka dimarahin sama gurunya." katanya.. lah, gak nyambung sama pertanyaan.

Tapi pernyataan dia ini membuat saya kaget dan bertanya-tanya. Kok bisa si Papa dimarahin? kenapa ya?? tak mungkin dia melakukan kesalahan, soalnya si Papa (kasarnya boleh dibilang) lebih tertib dibanding orang Jerman sendiri.. :D

"Eh, kenapa Papa suka dimarahin??"
"huehehehhehe..." malah nyengir..
"Neng.. neng.. kenapa atuh si Papa suka dimarahin gurunya?" penasaran.. :D
"Iya, Papa kalau ke Kindergarten suka dimarahin sama gurunya. Papa kan udah gede, Kindergarten kan buat anak kecil."

hahahaha... kena lagi deh.. jadi itu toh maksudnya?!!

*Jadi ngebayangin wajah Papa yang sumringah liat banyaknya mainan, terus berpindah-pindah dari satu meja ke meja lain untuk mencoba semua mainan.. hihihi.. kayak Ligar.. :D*




Sunday, October 17, 2010

Laba-laba luar biasa ;)

Setelah membaca ceritanya Gita tentang laba-laba.. salah dink, setelah membaca reply baliknya Gita sebenarnya, saya jadi ingat lagi kalau kami juga punya satu cerita dengan seekor laba-laba di dalam rumah. Berdasarkan pengamatan saya, setiap hari hujan, pastilah besoknya ada laba-laba baru di dalam rumah. Waktu itu saya sambung-sambungkan dengan lagu Eensy weensy spider --> "down came the rain, and wash the spider out", saya simpulkan bahwa laba-laba takut dengan hujan, makanya mencari perlindungan ke dalam rumah. Ternyata kalau berdasarkan pengamatan Gita, itu karena jaring laba-laba bisa rusak oleh hujan. Jadi mungkin si laba-laba mengungsi (ini bahasa Indonesia bukan sih?! :D) ke dalam rumah orang karena baru saja menjadi tuna wisma.

Setiap kali ada laba-laba masuk, saya biarkan saja, toh laba-labanya juga kecil, nyaris tak kelihatan. Lama-lama juga dia hilang dengan sendirinya. Kalau sudah hilang laba-labanya, baru saya bersihkan jaring-jaringnya. Kadang, tanpa dibersihkan pun, jaring itu hilang pula dengan sendirinya. Sampai suatu ketika kami kedatangan seekor laba-laba hitam dan buessaaarrr. Ok.. ok.. laba-laba ini tidak sebesar "lancah maung" (laba-laba besar dengan motif belang-belang, tapi bukan tarantula lho) yang suka saya lihat waktu kecil di kampung saya. Ukuran badannya kira-kira sebesar kuku ibu jari lah, tapi kaki-kakinya panjaaaaang sekali, membuat kehadirannya kentara sekali di langit-langit kamar anak-anak kami. 

Takut??? jelas donk, apalagi laba-laba adalah salah satu binatang yang membuat saya geli. Ketika si akang pulang, saya pun laporan, khawatir si laba-laba ini merayap ke tubuh anak-anak pas lagi tidur.. atau jatuh pas mulut anak-anak lagi mangap.. atau.. jangan-jangan ini laba-laba beracun lagi, kalau sampai gigit anak-anak, nanti anak saya jadi Spiderman.. halah.. bakhayyaaa... ah.. pokoknya banyak pikiran2 jelek melintas di kepala saya. Tapi, seperti biasa, si akang kalem dan cuek tea.. "biarin aja, ntar juga mati sendiri, di dalam rumah mah gak ada makanan, Neng.".

Ok deh, meski rada tenang dengan pernyataan si akang, tapi tetep.. kalau malam-malam, saya suka ronda beberapa kali ke kamar anak-anak, memastikan bahwa laba-laba itu masih bercokol di tempatnya. Dan si laba-laba ternyata betah ye tinggal di kamar anak-anak. Kadang-kadang dia pindah tempat, tapi tetap masih di langit-langit. Sampai di hari ke-4, saya lihat dua kakinya mulai terkulai, tidak lagi menempel di langit-langit. Beberapa jam kemudian saya lihat lagi, hanya tinggal satu kaki yang menempel. Yeah, bener juga kata si akang, ternyata dia mati kelaparan.. tapi kasihan juga.. Esok paginya, ternyata semua kakinya sudah menempel lagi di langit-langit kamar.. Lho?! ternyata tadi malam itu hanya tidur toh? ternyata laba-laba juga sama kayak manusia, kalau tidur, badannya bisa terkulai sana-sini gak karuan kayak gitu.. :D *jadi ngebayangin orang yang ketiduran di angkot :D*

Sampai suatu hari, saya dan anak-anak pulang sore. Jam lima di musim dingin sudah cukup gelap. Ketika masuk ke kamar anak-anak, tiba-tiba badan saya terjerat sesuatu. Sesudah saya menyalakan lampu, ternyataaaaaa... laba-laba itu sedang membuat rumah baru (belum jadi, baru beberapa benang saja yang terbentuk). Tak tanggung-tanggung, dia membuat jaring dari langit-langit sampai ke kursi (kurang lebih 3 meter-an), dan jaringnya kuat sekali. Ya ampuuun.. ini mau bikin rumah apa mall, ba? *nanya ke laba-laba* Huaaaa... dan saya pun langsung histeris. Untungnya si akang tak lama kemudian sampai di rumah. Langsung deh saya suruh untuk mengusir laba-laba itu.. udah gak tahaaaaaannnn deh. Melihat seperti itu, tampak si akang juga cukup khawatir. Akhirnya dia ambil laba-laba itu dengan gulungan kertas kado, lalu dikeluarkan lewat jendela. Ah, suamiku.. kamu masih juga berhati lembut seperti itu.. beruntungnya si laba-laba.. kalau saya sendiri, tentunya saya sudah beraksi pakai sapu lidi. :(

Studentenfutter

Kebetulan apel yang saya beli sedang ada hadiahnya, sebungkus kecil Studentenfutter. Melihatnya, saya jadi ingat kembali kejadian ketika pertama kali saya mengenalnya. Waktu itu kami sedang kumpul-kumpul di rumah mbak Amik. Tiba-tiba mbak Amik menyuguhkan cemilan kedua putranya, "Ini nih Studentenfutter". Dan saya pun tertawa geli. Kenapa? karena Futter (dalam kepala saya) identik dengan makanan untuk binatang (parab mun dina bahasa Sunda mah).

Apakah itu Studentenfutter (makanan mahasiswa)? Studentenfutter adalah makanan yang terdiri dari campuran buah-buahan kering (biasanya kismis) dan kacang-kacangan tanpa garam (biasanya terdiri dari kacang mete (Cashewkernen), kacang tanah (Erdnüsse), kacang Brazil (Paranüsse), kacang kenari (Walnüsse), Hazelnut (Haselnüsse), dan kacang almond (Mandel)).

Nama ini bisa jadi diambil dari kemampuannya untuk meningkatkan konsentrasi. Bisa juga karena kandungan karbohidratnya yang mudah dicerna, seperti juga kandungan zat besi dan asam lemak omega 3 yang ada di dalamnya.

Hm.. meski saya bukan mahasiswa lagi, boleh donk saya ikut-ikutan makan cemilan sehat dan enak ini.. hmmm... mmm... kriuuk.. kriuuukk.. *penuh konsentrasi menghabiskan isi bungkus Studentenfutter*

*gambar diambil dari sini

Kleinwuchs

Kira-kira seminggu yang lalu, tiba-tiba saja saya mendapat kiriman kartu pos untuk Nadin dari dokter anaknya. Katanya sudah saatnya Nadin dikontrol lagi. Kontrol apa ya? seharusnya dalam waktu dekat ini tidak ada, baik kontrol perkembangan ataupun imunisasi. Paling tes untuk masuk sekolah, tapi tes ini pun bukan di dokter anak tentu saja. Setelah saya hubungi praktek dokter anak, ternyata Nadin harus diukur lagi tinggi dan berat badannya, karena waktu kontrol terakhir (U9 bulan April lalu) terlalu kecil.

Setelah membuat janji, akhirnya datanglah kami ke dokter anak beberapa hari yang lalu. Dan benar saja, Nadin hanya ditimbang berat dan tinggi badan saja. Setelah dikonversi ke grafik, tampak tinggi terhadap berat badan ada dalam kurva normal, dengan kata lain ideal lah. Namun ketika dilihat pada grafik tinggi badan terhadap umur, titiknya terletak di bawah garis normal paling bawah, sedikiiiiit sekali. Oleh karena itu, dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan, dikhawatirkan ada sesuatu di dalam. Sebelum umur 12, diharapkan semuanya masih bisa diobati, tapi setelah umur 12 akan sulit, katanya. Nadin pun diberikan rujukan ke Kinderklinik-nya LMU di Lindwurmstr.

Saya katakan, mungkinkah karena dia turunan Asia? orang Asia ukurannya relatif lebih kecil dibandingkan orang Jerman (grafik yang dipakai standar Jerman tentu saja). Bisa jadi, kata si dokter, dia pun menanyakan ukuran tinggi saya dan si akang, yang sayangnya ternyata ukuran kami gak kecil-kecil amat dibanding orang Jerman pada umumnya. :D Hal ini membuat si dokter tambah yakin untuk memeriksakan Nadin lebih lanjut. Ah, dokter ini gak tau sih, kalau kami, orang tuanya, dulu juga kecil-keciiill, baru pas SMA tubuh kami berkembang pesat. :D

Sebenarnya bukan saya tidak mau memeriksakan Nadin lebih lanjut, namun ketika saya mendengar dokter menyebut "diambil darah", saya jadi ngeri. Masih terdengar jeritannya Ligar ketika diambil darah untuk tes alergi, atau jeritan Maryam bayi ketika diambil darah di Klinik anak Harlaching, duh, masa sekarang harus mendengar jeritan Nadin juga?? :((

Sesampainya di rumah, saya mencari-cari website yang dapat mengukur perkembangan tubuh anak. Dan akhirnya saya menemukan link ini. Berdasarkan hasil perhitungan di situ, dengan memasukkan data saya dan kang dian, sebenarnya besarnya Nadin masih NORMAL.

Tapi, si akang memberi masukan, sebaiknya diperiksakan saja, daripada ada apa-apa. Ya sudah, akhirnya kemarin saya membuat janji dengan kliniknya. Daaaannn.. yang namanya klinik, mau bikin janji atau tidak, tetep NGANTRI. Kami pun baru mendapat waktu tanggal 25 November nanti *sigh*, keburu lupa atuh.. Setelah putus dengan klinik Dermatologi-nya TUM, kini saya akan menjalin hubungan baru dengan klinik anak-nya LMU.. *halah.. menjalin hubungan dr klinik ke klinik ceritanya*

Wednesday, October 13, 2010

Elternabend - Vorschule

Eltern = orang tua, Abend = malam. Elternabend = malam orang tua. Itu kalau diterjemahkan per kata. Tapi sebenarnya ini adalah malam dimana orang tua mendapatkan informasi tentang segala hal yang ada di Kindergarten, mulai dari tempat bermain, material, biaya yang kita keluarkan untuk apa saja, makanan, pedagogik, dll. Teknisnya (kalau di Kindergarten Nadin), masing-masing guru bertanggungjawab untuk satu tema. Orang tua bisa mendengarkan penjelasan sang guru (kalau kebetulan menjelaskan), melihat diagram, gambar atau apapun yang telah dipersiapkannya dan menanyakan apa saja yang ingin orang tua ketahui. Karena saat ini Nadin sudah Vorschule, maka saya lama nongkrong di sana untuk menanyakan hal-hal yang bikin saya penasaran. 

Saya termasuk yang datang awal, kebetulan waktu itu baru ada dua orang tua, saya dan satu bapak yang lain. Jadinya lebih enak, tenang, dan apa yang si ibu jelaskan bisa dimengerti lebih mudah. Ketika kami datang, si ibu langsung menjelaskan kegiatan anak-anak Vorschule. Setiap hari Selasa mereka belajar bareng, katanya. Iya, karena si anak-anak ini tidak berada dalam satu grup (fyi: dalam satu grup di kiga ini terdiri dari berbagai macam umur anak alias dicampur). Jadi anak-anak Vorschule ini pun tersebar di semua kelas. Salahsatunya yang mereka pelajari adalah mengenal angka dari 1 sampai 10. Bukan belajar berhitung, tapi benar-benar hanya mengenal angka. ;)

Misalnya hari Selasa ini anak-anak mengenal angka 1. Bersama Frau K, mereka akan mewarnai angka 1, belajar menulis angka 1 dengan mengikuti gambar yang ada, kemudian menggambar angka satu dengan jarinya, dan mendengarkan cerita tentang angka 1. Selasa depannya, bersama Frau W, anak-anak akan bermain dengan angka 1. Kemarin si ibu memperlihatkan material-material bermain, salah satunya bermain timbangan. Si anak belajar mencari angka-angka yang beratnya setimbang. Misal angka 1 akan setimbang dengan angka 1 lagi. Angka 2 akan setimbang dengan 2 buah angka 1, dan seterusnya. Makin besar angka yang mereka kenal, akan makin rumit, katanya. Contoh lain si ibu memperlihatkan mainan yang lain yaitu membangun rumah. Ketika mengenal angka 1, anak-anak akan membangun rumah dengan satu dasar, satu tiang dan satu atap, dan seterusnya sesuai dengan angka yang sedang mereka pelajari.

Di ruangan itu terdapat folder yang bertanda dari huruf A-Z. Ternyata folder itu berisi foto dan nama mereka. Misal Nadin ada di folder N, di situ hanya ada foto Nadin dengan tulisan namanya. Jadi si anak bisa mengenal bagaimana menulis nama mereka. Ah, saya jadi tergelitik untuk menanyakan tentang belajar membaca. Apakah selama Vorschule anak-anak hanya dikenalkan dengan Alphabet saja? atau sudah belajar membaca?

Ternyata sebenarnya anak-anak tidak diwajibkan mengenal Alphabet ketika lulus Vorschule, apalagi membaca. Mereka hanya dikenalkan pada bunyi saja. Misal: AAAAAAAApfel, AAAAAAffe... EEEEEEElefant.. dan lain-lain. Tapi pada akhirnya, biasanya si anak secara otomatis jadi hafal semua huruf, katanya. Si ibu memperlihatkan lagi satu permainan, dimana anak-anak harus mencari gambar benda yang bunyi namanya sama, misal seperti Kanne dan Pfanne atau benda yang berbeda satu huruf vokal seperti Hand dan Hund. Dan ini anak-anak hanya melihat gambar saja, tanpa ada tulisannya. Tapi tentu saja kalau ada anak yang bertanya, ini huruf apa? harus saya jawab yang sebenarnya.. tidak bisa disembunyikan, katanya.. (Sepakat, Bu.. itu juga yang saya lakukan pada anak-anak saya.. :D) 

Oya, satu lagi yang bikin saya penasaran. Anak-anak Vorshule ini diberi loker masing-masing oleh gurunya. Isinya hanya Federmaepchen (map yang berisi alat tulis dan pensil warna) dan Malkasten (cat air lengkap dengan koasnya). Saya penasaran karena anak-anak tentunya sudah familiar dengan perlengkapan ini sejak masuk TK, kenapa tampaknya sekarang istimewa sekali. Ternyata bukan ke fungsi alatnya, tapi lebih ke "rasa memiliki". Jadi anak-anak dilatih untuk menggunakan dan menjaga barang-barang pribadinya. Ini juga sebagai penyesuaian sebelum masuk SD. Nanti di SD barang-barang yang mereka miliki akan lebih banyak lagi.

Satu lagi, saya melihat buku-buku cerita yang ada di sana bukan lagi cerita-cerita dongeng seperti biasa, tapi lebih ke cerita ilmiah. Misalnya buku tentang planet, tentang alam, hutan, dan lain-lain. Pantesan beberapa waktu lalu, Nadin sempat bercerita kalau dia dibacakan buku tentang planet. Ada planet bumi juga lho, Maah.. (untung tidak lama sebelum itu, saya sempat bercerita tentang planet bumi pada Nadin, waktu itu berasa terlalu dini tea, tapi saya sudah terjebak, masa harus ngarang?! Ternyata ada untungnya juga, Nadin jadi gak bengong-bengong amat pas diceritakan di sekolahnya). Dan ya, semenjak itu Nadin suka cerita, misal: kalau planet paling kecil warnanya hijau, namanya sama kayak anjingnya Mickey dan Goofie, Pluto namanya. Atau pernah juga dia bercerita,

"planet bumi itu muter lho, Mah.. tapi kita gak jatuh dan gak terbalik ya?!".
Kemudian Maryam menimpali,
"iya, istana juga muter!".
*Lah kok gak nyambung??*
"istana kan lebih gede daripada bumi." lanjutnya.
Ooooh.. ternyata yang dimaksud "bumi" sama Maryam itu bumi dalam bahasa Sunda yang artinya rumah. Rumah sama Istana masih nyambung lah ya.. hahaha... Neng Iyam.. Neng Iyam.. Kamu lucu abis ah! :*:*:*

Tuesday, October 5, 2010

Kursus Bahasa Jerman untuk Anak Pra-sekolah

Tanpa terasa Nadin sudah memasuki tahun terakhir di TK-nya, kini dia sudah termasuk anak Vorschule (preschool/pra-sekolah). Anak-anak Vorschule ini memiliki aktivitas yang agak berbeda dengan anak-anak TK lainnya. Salah satunya, khusus untuk anak-anak yang orang tuanya bukan orang Jerman alias pendatang, diikutkan kursus bahasa Jerman, agar si anak lebih siap dalam segi bahasa saat masuk sekolah dasar nanti. 

Biasanya di Muenchen semua sudah serba otomatis. Untuk menjadi Vorschulkind tidak usah pakai daftar-daftaran, begitu anak sudah berusia 5 tahun, dia otomatis berstatus sebagai Vorschulkind. Untuk pemeriksaan anak sebelum masuk sekolah juga ada surat pemberitahuannya ke rumah, kapan dan kemana kita harus membuat janji untuk pemeriksaan tersebut. Jadi saya pikir untuk kursus bahasa Jerman inipun demikian. Kalau sudah saatnya kursus, pastinya saya akan diberitahu oleh gurunya.

Suatu hari saya kebetulan berada dalam satu bus dengan ibu dari salahsatu temannya Nadin. Dan dari obrolan kami, barulah saya tahu, bahwa ternyata kursus bahasa Jerman ini sebenarnya sudah dimulai. Lho.. lho.. kok saya bisa ketinggalan informasi begini? Esoknya saya pun menemui gurunya Nadin, Frau W, dan saya bilang kalau Nadin belum mendaftarkan diri untuk kursus Bahasa Jerman. Namun ternyata jawaban si ibu ini cukup mengagetkan.. kaget bahagia tepatnya. Dia bilang bahwa Nadin tidak memerlukan kursus bahasa tersebut, Nadin bisa berbicara bahasa Jerman dengan baik, baik itu pengucapan maupun susunan kalimat, katanya. Ternyata kursus ini tidak untuk semua anak berlatar belakang migran, namun untuk anak-anak yang bahasa Jermannya benar-benar jelek saja, katanya.

Antara percaya dan tidak sebenarnya. Anak-anak yang ikut kursus menurut saya bahasa Jermannya bagus-bagus.. mereka lebih lancar bicaranya dibandingkan Nadin. Tapi yah itulah, mungkin karena kuping saya bukan kuping Jerman, maka saya kurang bisa membedakan pengucapan anak yang benar dan yang salah.

Kalau boleh jujur, sebenarnya saya juga tidak tahu bagaimana anak saya berbahasa Jerman, karena di rumah, kami memang tidak pernah berbahasa Jerman. Kenapa? karena kami bukan orang Jerman, takutnya lidah kami malah mengajarkan kata-kata yang salah pengucapannya pada si anak (bahasa jerman logat Sunda tea). Selain itu, bahasa Jerman kami yang tidak fasih juga dikhawatirkan membuat si anak menyusun kalimat dengan gramatik yang salah. Dan keputusan kami ini sangat didukung oleh guru TKnya Nadin waktu itu.

Kini, melihat hasilnya seperti ini, kami tambah percaya pada si anak, bahwa dia pasti bisa masuk SD, meski tanpa ikut kursus bahasa Jerman.