Dulu, saya beranggapan bahwa akan ada saatnya anak bisa ke toilet sendiri. Makanya waktu anak pertama, saya malah terlalu anteng membiarkan si anak asyik dengan popoknya. Sampai ketika anak-anak seusianya sudah bebas diapers, saat itu barulah saya sadar bahwa anak saya sebenarnya sudah cukup umur (bahkan mungkin lebih :D) untuk lepas dari popoknya. Makanya waktu itu saya langsung lepas popoknya Nadin, dan dilatih ke toilet sendiri dengan cara barbar. Alhamdulillah, meski penuh perjuangan ekstra mencuci dan (terkadang) mengepel, dalam waktu 9 hari pelatihannya berhasil tuntas. Dari pengalaman pertama ini, saya simpulkan bahwa ada saatnya si anak SIAP (bukan bisa) pergi ke toilet sendiri dengan bantuan dan dukungan orang tuanya.
Untuk anak kedua, harusnya saya lebih berpengalaman, dan saya sudah bertekad untuk melepaskan popoknya dalam usia yang lebih muda dari Nadin. Setelah baca-baca, katanya mulai usia dua tahun anak mulai siap disapih dari popoknya, tapi setiap anak itu unik, jadi tiap anak bisa beda juga usia siapnya. Untuk pelatihan ini, saya butuh waktu, dimana saya tinggal di rumah secara terus menerus untuk beberapa hari secara berturutan. Dan itu SUSAH.. sekalipun liburan sekolah, selalu ada acara di luar rumah (doh, si ibu pengacara pisan). Alhasil, biasanya saya selalu ingat akan toilet training ini di hari-hari akhir liburan, yang mana, toilet training yang sudah diniatkan selalu batal dilaksanakan. Setelah hamil tua, saya pun menyerah, rasanya tak sanggup harus angkat junjung si kakak plus ekstra nyuci tentu saja, sambil ngegembol si dedek di perut. Akhirnya saya putuskan, toilet training diundur sampai si adik lahir nanti.
Setelah lahiran, apakah yang terjadi? kondisi malah lebih repot ternyata, agak-agak sedikit kurang stabil, karena semua anggota keluarga harus menyesuaikan diri lagi dengan kehadiran anggota baru. Dan akhirnya saya pun tersadar kalau usia Maryam sudah sama dengan usia Nadin ketika lepas dari popoknya. Akhirnya bulan Januari lalu, saya lepaslah itu popok. Dan seperti biasa, di hari pertama lepas popok, kantung kemih bak botol minum yang kehilangan tutupnya. Bocoooorrrrr melulu. Berbeda dengan anak lain, masalah yang dihadapi Maryam justru siang hari. Kalau malam, dia nggak ngompol lagi. Tapi kalau siang, cucian langsung menumpuk dengan cepat*. Di hari ke-2 atau ke-3, saya harus pergi ke dokter. Saya kenakan lagi pampersnya karena khawatir bocor di tempat dokter. Setelah kembali ke rumah, dia tidak mau melepas popoknya. Dia bilang dia lebih suka popok hijau (pampers) daripada popok putih (kain)**. Ya sudah, akhirnya waktu itu saya mengalah. Anggaplah dia memang belum siap. Lagipula, saatnya dia masuk Kindergarten masih lama, masih bulan September, jadi bisa pas liburan musim panas nanti saya coba lagi.
Namun pertengahan Maret yang lalu, saya tiba-tiba mendapat panggilan dari Kindergarten untuk Maryam. Dia sudah bisa masuk mulai 1 April katanya. Bahagia tentu saja, karena selama ini dia memang sudah sangat ingin ikut kakaknya main di sana. Saya pun sibuk dengan segala persiapan. Mulai dari urusan administrasi sampai belanja segala keperluannya. Dan teringatlah saya kalau ada satu masalah yang dia belum siap. Popoknya masih setia terpasang di badannya. *Wadduh* Dan Kindergarten ini termasuk Kindergarten yang tidak membolehkan anak-anaknya mengenakan popok. Gurunya bilang, kalau sampai hari-H Maryam masih belum bisa pipis, terpaksa dia harus melepaskan popoknya di sini, dengan resiko saya membawa banyak cucian setiap harinya. Tapi biasanya seminggu mereka sudah bisa ke toilet sendiri, katanya. Hm.. berarti caranya sama persis dengan metode yang saya terapkan ke Nadin
dulu. Akhirnya saya tambah semangat untuk menerapkan metode yang sama.
Kebetulan dua minggu terakhir ini liburan sekolah, dan kebetulan lagi rencana liburan kami sedikit diundur karena si Akang sedang banyak kerjaan. Jadi bisa dipastikan kami akan banyak menghabiskan waktu di rumah selama liburan. Saya langsung terangkan pada Maryam, bahwa dia HARUS melepaskan popoknya, kalau dia MAU ke Kindergarten. Akhirnya diapun setuju. Hari pertama libur, langsung saya lepas popoknya. Dan seperti biasa, remnya blong lagi (kembali ke awal ternyata, tidak melanjutkan yang dulu, hehehe..).
Dalam 3 hari pertama cucian lumayan menumpuk. Ternyata anak ini rada cuek, meski celana basah.. dia masih tetep asyik main. Kalau saya ajak ke kamar mandi, dia selalu tidak mau, bilangnya tidak mau pipis.. eh, beberapa menit kemudian basah. Atau, ada saatnya dia bilang mau pipis.. setelah sampai di kamar mandi, lamaaaaa sekali gak keluar-keluar.. sampai terkantuk-kantuk saya dibuatnya.. :D Ternyata dia hanya mau main-main, dia senang memasang dudukan toiletnya sendiri, dia senang mencet2 pembersih toilet lengkap dengan suara "wuzz"nya :D. Ah ya, saya biarkan aja semaunya, asalkan dia tidak takut pergi ke kamar mandi.
Hari keempat, dia mulai luluh, mulai mau ikut ke kamar mandi saat saya ajak. Kemajuan besar.. :D Dan bersyukur di hari itu saya tidak mendapatkan cucian basah. Hari berikutnya pun demikian.. hampir setiap 2 jam saya ajak dia ke kamar mandi. Kadang pipis.. kadang tidak..
Akhirnya di hari ketujuh, kebetulan saya terlalu sibuk di pagi hari, sampai lupa pada toilet training yang jadi rutinitas seminggu terakhir itu. Maryam tiba-tiba teriak, "Mama.. Maryam teh mau pipis.. Mama kok gak bawa Maryam ke kamar mandi sih??! ntar keburu ngompol nih.. ". Heh??!! kaget campur bahagia.. akhirnya dia bisa merasakan juga. Dan berita gembiranya, seharian itu dia bisa bilang pipis setiap kali dia mau pipis (beneran). Besoknya juga.. dan besoknya juga... Dan alhamdulillah sampai hari ini dia bisa bilang terus. Dua hari kemarin kami jalan-jalan seharian keluar rumah. Alhamdulillah dua-duanya juga selamat, tanpa celana basah. Mudah-mudah ini pertanda dia memang sudah lulus. Ternyata, anaknya sendiri butuh motivasi untuk mau dan bisa melepas popoknya. Kini, dia siap menjadi anak Kindergarten.. ;)
__________________________________________________________________
*celana basah karena pipis menjadi bau pesing kalau dibiarkan terlalu lama. Bahkan kalau langsung dicuci pun, bau pesingnya susah hilang. Maka saya menggunakan teori ibu mertua, dengan menyediakan satu ember berisi air sabun untuk merendam cucian yang bau pesing. Setelah terkumpul, masukkan ke mesin cuci, giling. Selesai. :D
**Saat si anak tidak lagi mengenakan pampers, sebagai penggantinya saya menggunakan kain yang dapat menyerap air (saya menggunakan
Spücktuch/kain tetra kurleb sebesar sapu tangan, dilipat-lipat) untuk menyerap air ketika dia pipis, agar air kencingnya tidak berceceran kemana-mana. Alhamdulillah.. gk perlu ekstra ngepel.
__________________________________________________________________
gambar diambil dari
sini.