Thursday, December 17, 2009

Belajar dari Anak (1): prasangka

Suatu hari saya bertanya kepada Nadin, diantara keempat musim yang dia alami, musim apakah yang paling dia sukai. Dia memilih musim gugur, dengan alasan daun-daun menjadi berwarna-warni.. bagus.. katanya. Tapi Nadin juga suka musim dingin, soalnya Nadin bisa main salju. Setelah merenung sejenak.. dia kembali menambahkan kalau dia juga suka musim semi karena sering hujan (dia suka memakai kostum hujan lengkap dengan payungnya, kemudian loncat2 di genangan air) dan bunga-bunga mulai bermunculan. "Eh, tapi ceuceu juga suka musim panas, habis ceuceu bisa main di Spielplatz (playground) terus sih.." tambahnya.. Lho.. lho.. lho.. jadi kesimpulannya Ceuceu suka semua musim nih?! :D

Memang kelihatannya mereka (anak-anak) tidak pernah mengeluh mengalami musim apapun.. seneng-seneng aja tuh.. Ternyata itu rahasianya, mereka selalu melihat sesuatu dari sisi positifnya. Mereka tidak peduli hujan gerimis setiap hari di musim semi, karena mereka senang bisa bermain-main air dan melihat tunas-tunas bunga yang bermunculan dari tanah. Mereka tidak peduli dengan sengatan matahari yang membuat kulit serasa digigit-gigit di musim panas, karena mereka bisa bermain sepuas-puasnya di luar rumah. Mereka tidak peduli dengan kencangnya angin yang bahkan sangat mungkin menerbangkan tubuh mereka yang mungil, karena bisa melihat indahnya warna-warni daun di musim gugur. Mereka tidak peduli dengan udara yang membuat tubuh selalu menggigil di musim dingin karena mereka bisa bermain salju.

Sungguh sebaliknya dengan kita, yang seringnya merasa jengkel ketika hujan turun terus menerus, mengeluh kedinginan, kepanasan tanpa melihat betapa indah dan unik setiap musim itu. Hal ini mengakibatkan beberapa orang menderita 'Weather blues', jadinya tidak bisa menikmati hidup seperti anak-anak.

Lebih jauh lagi, jika hal ini dianalogikan dengan berprasangka, selalu berprasangka positif dulu dalam menilai sesuatu, bisa jadi hidup kita juga akan sama seperti anak-anak.. selalu 'enjoy' dalam setiap suasana. Ah.. jadi teringat satu nasihat dari pengajian beberapa tahun lalu di sini, kira-kira seperti ini redaksinya: "sebelum kita membuat satu prasangka negatif, buatlah terlebih dahulu 25 prasangka positif." Hmm.. bisa??? gak ada salahnya mencoba kan?! yuuk.. kita belajar ber-husnudhan seperti anak-anak. ;)


Wednesday, September 30, 2009

Pilah-pilih Kinderwagen (2)

Saya pernah menulis pengalaman memilih Kinderwagen a.k.a stroller a.k.a kereta bayi di sini. Tapi itu dulu, saat saya baru memiliki dua bocah cilik. Waktu itu bahkan saya sudah punya kecengan kereta bayi mana yang akan saya beli seandainya saya dikaruniai bayi lagi dalam rentang waktu kurang dari 3 tahun. Namun, ketika saya dihadapkan pada situasi tersebut, kenyataannya tetap saja seperti waktu lalu, mencari dan memilih yang terbaik dengan harga terjangkau.

Sebenarnya untuk dua anak, saya lebih suka memakai kereta bayi singel dengan tambahan Buggyboard (gambar bisa dilihat di postingan sebelumnya). Ini lebih praktis dan murah, keduanya bisa dipakai bergantian antara si adik dan kakak (jika adiknya masih bayi, tentu saja dia harus digendong saat kakaknya duduk di kereta). Masalahnya, saat ini kondisinya berbeda, 3 anak dengan usia yang masih kecil-kecil, balita semua gitu lho!. Nadin sudah kuat berjalan jauh. Tapi kalau kelamaan, apalagi jam sudah di atas jam 3 sore, biasanya dia bakal ketiduran di jalan. Maryam apalagi, dia selalu ingin jalan sendiri, namun tidak bertahan lama.. 15 menit.. atau 20 menit kemudian, dia pasti mengeluh cape dan ingin duduk atau digendong. Ligar tentu saja masih belum bisa dibiarkan jalan sendiri. Sedangkan saya sendiri punya banyak agenda di luar rumah setiap harinya (doh, pengacara sekali). Makanya, kemungkinan anak2 ketiduran di jalan susah dihindari. Karena itulah, saya berpikir untuk membeli kereta bayi dobel. Agar Nadin dan Maryam bisa bobo di situ saat mereka kelelahan, sambil saya menggendong Ligar (kalau masih kuat gendong), sehingga perjalanan pun tidak terganggu.

Maka mulailah saya berburu kereta bayi dobel ini sejak Ligar masih di dalam kandungan. Dua tahun sudah berlalu sejak saya melakukan aktivitas ini, namun pilihan kereta bayi yang saya inginkan tidak banyak berganti. Pilihannya masih yang itu-itu saja. Dan yang pasti saya tidak ingin membeli kereta bayi yang sama seperti dulu, karena terlalu berat. Akhirnya didapatlah 3 kandidat. Sebagai ibu2 sejati, tentu saja saya menginginkan barang yang memiliki kualitas terbaik dengan harga termurah. Jadinya pilihan pertama jatuh pada Kinderwagen yang satu ini.

Ukurannya kompak sekali, tidak jauh beda dengan kereta bayi singel, panjang maksimum hanya 118 cm. Beratnya juga masih di bawah rata-rata kereta dorong dobel (13 kg). Tapi, kalau diisi Nadin dan Maryam.. beratnya minta ampun. Angkat sedikit aja, tenaga yang diperlukan lumayan besar, apalagi kalau harus mengangkat saat naik bis atau tram. Harga masih tidak jauh beda dengan kereta bayi pada umumnya. Bahan kerangkanya tampak cukup kuat, tidak seringkih seperti yang tampak pada gambar. Hanya bahan tekstilnya yang saya kurang suka.. agak kasar dan jahitannya kurang rapi. Anak-anak bisa duduk dan tidur dengan nyaman. jika dipasang untuk bayi dan anak kecil, sang bayi diletakkan di kursi belakang. Nah, ini dia kekurangannya. Kursi belakang tidak bisa didorong sampai rata, jadinya untuk bayi baru lahir tidak bisa ditidurkan begitu saja, harus ditambah Tragetasche atau car seat yang sesuai. Pegangan untuk mendorong bisa disesuaikan dengan tinggi badan. Terdapat dua buah kantong belanja, tapi dua-duanya tampak tidak bisa memuat banyak. Akhirnya kereta bayi yang ini dicoret dari list karena terlalu berat.

Lanjut ke pilihan kedua. Kelebihannya yang ini memiliki panjang yang lebih pendek dari kereta bayi serupa pada umumnya, namun sedikit lebih panjang dibanding yang pertama tadi. Kesan pertama ketika melihat langsung kereta ini, cantik sekali, sempurna! Kerangkanya kokoh, tekstilnya halus dan jahitannya rapi. Anak-anak pun akan merasa sangat nyaman duduk di dalamnya. Selain lebar, juga ruang antara bangku depan dan belakang cukup luas dibanding yang sebelumnya. Kantong belanja jauh lebih besar dan lebih kokoh, cukup kuat untuk dipakai belanja sehari-hari. Beratnya jauuh lebih ringan, hanya 9 kg saja. Namun, apa hendak dikata, ternyata kereta yang ini tidak muat di dalam lift tempat tinggal kami. Dengan berat hati akhirnya kereta bayi ini pun harus dikembalikan ke tokonya.

Akhirnya pilihan jatuh ke pilihan terakhir ini. Sebenarnya kereta ini adalah pilihan pertama yang menjadi pilihan terakhir. Dulu, ketika akan melahirkan Maryam, saya sudah berencana untuk membeli yang ini. Sayangnya waktu itu, di Jerman belum ada toko yang menjual. Untuk mendapatkan barang baru harus dari Inggris atau mengandalkan membeli bekas di EBAY (yang mana yang menjual jaraaaaang sekali, dan kalaupun ada selalu jadi idola, laku dengan harga sangat tinggi). Namun kini, sudah banyak toko online di Jerman yang menjual kereta bayi ini. Jadinya harga sedikit menurun dari dulu, dan tawaran di EBAY pun jadi lebih banyak dibanding 2 tahun lalu. Sayapun melakukan survey harga ke beberapa toko untuk mendapatkan harga termurah dan membuat list kelebihan2 kereta bayi ini untuk dipresentasikan pada pengajuan proposal nanti. Dan akhirnya, alhamdulillah si akang juga setuju. Dengan perjuangan yang tidak mudah, datanglah kereta bayi ini ke rumah kami. Setelah melihat langsung, ternyata memang inilah kereta bayi paling sempurna yang pernah kami temukan.


Kereta bayi ini dikenal sebagai kereta bayi '4 in 1'. Bisa dipakai untuk satu bayi baru lahir (lihat gambar kanan bawah), satu anak kecil, satu bayi baru lahir dan satu anak kecil (gambar kanan atas), serta dua anak kecil (gambar kiri). Terdiri dari dua buah kursi, kursi utama (muat sampai berat 25 kg) dan kursi tambahan (muat sampai berat 15 kg). Kursi tambahan bisa dipasang di depan atau di belakang, disesuaikan dengan formasi yang dibutuhkan.

Ukuran panjang dan besar tidak kalah dengan kereta bayi singel lainnya. Beratnya bahkan lebih ringan dibandingkan kereta bayi kami sebelumnya (hanya 11 kg saja). Roda depan yang bisa bebas berputar-putar membuat perjalanan menjadi lebih mudah dan mengasyikan. Pegangan bisa diatur ketinggiannya, saat tidak dibutuhkan (di dalam bis misalnya) bisa dilipat ke bawah untuk menghemat tempat. Anak2 tentu saja merasa nyaman saat berada di dalamnya.

Tapi memang di dunia ini tidak ada yang sempurna. Kekurangannya, remnya keras sekali, di awal-awal sangat susah untuk mengerem. Tapi sekarang sih sudah tahu triknya. Agak susah saat dibawa naik eskalator, namun setelah tahu triknya juga menjadi lebih mudah. Kereta dorong ini harus selalu di rem ketika tidak digunakan, karena kalau tidak, kereta ini akan terus menggelinding sendiri. Sangat berbahaya jika kita sedang berada di pinggir jalan atau dekat dengan jalur kereta. Saat dipasang formasi bayi dan anak kecil, lubang udara dan cahaya untuk si bayi hanya dr belakang. Oleh karena itu, si bayi cenderung melihat ke atas. Untungnya Ligar kebanyakan tidur kalau sedang di dalam kereta.

Walau bagaimanapun, sejauh ini kami merasa puas sekali dengan kereta bayi ini. Terutama saya, menjadi lebih mudah saat harus membawa tiga balita saya keluar rumah.

Thursday, July 23, 2009

...dan ketika si jagoan cilik itu tiba..




Selasa, 14 Juli 2009, kurang lebih pukul 1 dini hari, Maryam terbangun dan menangis. Akhir-akhir ini dia memang terbiasa seperti itu, lagi masa-masanya tantrum. Di tengah-tengah amukan Maryam, saya mulai merasakan kontraksi yang tidak begitu jelas. Saya pikir itu gara-gara stress karena Maryam yang tak kunjung berhenti menangis. Sekitar jam 2-an, akhirnya putri kecil itu bisa tertidur lelap lagi. Tapi rasanya sakit di perut saya masih berlanjut, kontraksinya tidak kuat dan tidak teratur.. kadang 10 menit.. kadang 5 menit.. kadang 20 menit..

Saya masih tenang-tenang saja, meski sudah tidak bisa tidur. Tapi bapaknya yang tampak lebih gelisah dan mengajak saya ke RS sekitar pukul 4 waktu itu. Ah, baru sakit segini sih masih jauh dari yang namanya melahirkan.

Pukul 5 saya mulai mencari bantuan, menelepon teman yang kira-kira bisa membantu jagain anak-anak hari itu. Alhamdulillah ada yang bersedia membantu. Dan diapun sampai di rumah sekitar 7.30, tepat di saat anak-anak bangun. Setelah saya menjelaskan beberapa hal tentang kebiasaan anak-anak, kesukaannya, dll.. saya dan si akang pun berangkat ke RS dengan perasaan sedih karena harus meninggalkan anak-anak yang baruuu saja bangun tidur. Nadin sudah diberi penjelasan, bahwa Mama harus ke RS, baby Utunnya udh mau keluar.. dan dia mengerti. Tapi Maryam sepertinya belum mengerti apa-apa.

Kontraksi semakin kuat dan semakin sering datang.. sudah teratur setiap 5 menit.. oo.. baiklah.. mungkin baru 7 menitan. Tak apa.. berdasarkan pengalaman waktu melahirkan Maryam yang tiba-tiba, kami merasa lebih baik berjaga-jaga di rumah sakit. Apalagi ini, sakitnya sudah cukup menggigit. Kami pun berjalan kaki ke pangkalan Taksi yang berjarak sekitar 300 meteran dari rumah. Tadinya saya mengusulkan naik tram saja, hanya 6 halte kok dr rumah. Tapi si akang yang biasanya ngirit (piss ach), kali ini gak setuju, dengan alasan jarak dari halte tram ke RS cukup jauh.. takutnya saya keburu melahirkan di jalan. :D

Sesampainya di RS saya langsung di-CTG. Ternyata kontraksi baru tiap 10 menit.. dan saya pun merasa tidak sekuat sewaktu saya meninggalkan rumah. Aneh.. Setelah diperiksa bidan, ternyata baru bukaan 2 atau 3 katanya. Akan masih sangat lama kalau saya hanya menunggu tanpa melakukan apa-apa. Saya pun ditawari untuk jalan-jalan atau 'Bewegungsbad' (bergerak2 di air). Tentu saya memilih jalan-jalan di luar. Selain tidak usah berbasah-basah ria, saya pun bisa menghirup udara segar. Saya disarankan untuk berjalan2 minimal 1 jam.

Begitu keluar dari ruangan, tiba-tiba kontraksi menguat lagi, dan semakin sering, hanya berjarak 3-5 menitan. Tapi mo balik lagi ke atas, malu.. takutnya kayak tadi lagi. Lebih baik jalan2 dulu aja di taman, sambil menikmati waktu berdua, bergandengan tangan.. ah.. kapan ya terakhir seperti ini?? hehhee..

Baru setengah jam jalan, saya sudah merasakan kontraksi yang amat sangat kuat.. lengkap dengan keinginan untuk mendorong.. Oh tidak.. ini tanda-tanda si bayi akan segera keluar... Dengan setengah berlari, kami segera kembali ke atas.. dan sempat terhenti beberapa kali di jalan karena menahan sakitnya kontraksi. Kamipun sampai di atas.. dan sempat dicuekin oleh bidan, mungkin gara-gara belum bulat sejam kami jalan-jalan. Pegangan tangan saya ke si akang semakin kuat karena menahan sakit. Kalau dipikir sekarang, rasanya tidak mustahil kalau dulu ibu saya sampai menggigit bapak ketika akan melahirkan salah satu anaknya, hehehe..

Akhirnya saya disuruh masuk ke ruang bersalin pukul 9.52. Dan saya langsung minta izin untuk berbaring karena sudah tidak tahan lagi. Setelah diperiksa bidan, bukaan kurang 1 cm lagi, artinya saya dibolehkan ngeden saat kontraksi berikutnya datang. Si bidan pun keluar, entah memanggil dokter.. atau mengambil sesuatu. Yang pasti, saat dia kembali, saya sedang ngeden dan memecahkan ketuban. Saat itulah perjuangan dimulai. Pukul 10.01 si bayi pun keluar.. dan seperti kelahiran Maryam.. dokter tidak sempat berbuat apa-apa.. Kata Mpok Aas mah, "kayak ngelahirin di dukun beranak aja", hehehe..

Alhamdulillah semuanya lancar. Si bayi keluar 8 hari lebih cepat dari yang diperkirakan. Sesuai ramalan dokter, dia keluar lebih cepat dari kakak-kakaknya (nadin maju 4 hari, Maryam 6 hari.. hm.. berarti anak ke-4 maju 10 hari nih.. :D). Ukurannya pun lebih besar dibanding kakak-kakaknya.. 3460 g, 54 cm (Nadin 3350 g, 51 cm; Maryam 3150 g, 51 cm). Dan sempat susah juga memutuskan pilihan nama, berhubung ada 4 kepala di rumah. Akhirnya, setelah berdiskusi dan polling, kami sepakat memberinya nama Ligar Bayu Nugraha. Semoga doa-doa dari keluarga dan teman-teman Mama dan Papa buat Ligar didengar dan dikabulkan Allah ya, Jang..

Sunday, July 5, 2009

Percaya si kakak atau dokter??


Konon, kalau ingin tahu jenis kelamin bayi yang sedang dikandung, tanyalah kakaknya (kalau sudah punya kakak tentu saja). Biasanya jawaban si kakak suka bener katanya. Iseng, saya tanya tuh si kakak-kakak kecil di rumah. Maryam yang baru berumur dua tahun, belum tahu laki-laki dan perempuan, tapi saya pikir dia cukup bisa membedakan kalau laki-laki itu kasep (cakep) dan perempuan itu geulis (cantik).

Mama: "Maryam, kalau baby Utun kasep atau geulis ya?"
Maryam: "geulis!"

Wah, untuk menguji keakuratan jawabannya, saya coba tes dengan pertanyaan lainnya.

Mama:"Kalau Papa?"
Maryam: "kasep!" *bener euy*
Mama: "kalau Mama?"
Maryam: "geulis!" *wah, bener juga!*
Mama: "kalau Ceuceu???"
Maryam: "geulis!" *bener lagi!*
Mama: "kalau Maryam?"
Maryam: "kasep!"
*gubraks*

 
Lain Maryam, lain pula Nadin.
Mama: "Ceu, kalau baby Utun kasep atau geulis ya?"
Nadin: "baby Utun mah kasep.. kayak Papa.." --> jawaban ini tidak mengherankan memang, karena dia sudah diberitahu sejak saya pertama kali dikasih tau dokter kalau bayinya memang laki-laki.

Mama: "Ceu, baby utun kalau udh keluar nanti, kasih nama siapa ya?"
Nadin: *mikir*
Mama: "Itu temen-temennya Ceuceu di Kindergarten siapa aja namanya yang laki-laki?"
Nadin: "banyak siiih.."
Mama: "Siapa atuh ya?? Andre? David?? Amin??"
Nadin: "mm.. Dara aja.."
Mama: "Dara?"
Nadin: "Iya.. Dara.."
*gubraks*

Di lain pihak, dari berkali-kali pemeriksaan USG (bahkan yang 4 dimensi), hasilnya selalu laki-laki. Yah, kita lihat aja nanti yang benernya yang mana.. laki-laki perempuan sama aja toh?? yang penting baby Utun lahirnya sehat.. Kita tunggu sekitar 2 minggu lagi..

Tuesday, June 23, 2009

Lika-liku si surat sakti

Sebenarnya proses memperpanjang izin tinggal di sini tidaklah susah. Setidaknya dibandingkan teman-teman di Belanda yang katanya harus menunggu beberapa hari/minggu ya?! Di sini relatif cepat, hari itu kita mengajukan, hari itu juga selesai. Dengan catatan, semua persyaratan terpenuhi. Kadang memang kita harus kembali di hari lain, bila ada syarat yang kurang.. atau waktunya sudah terlalu siang untuk mengisi daftar pertanyaan keterlibatan kita dengan beberapa organisasi yang dicurigai berbuat teror (maklum pendatang dari Indonesia termasuk salahsatu yang harus mengisi daftar panjang pertanyaan-pertanyaan tersebut). Jika semua beres alias tidak bermasalah, maka izin tinggal tersebut pun bisa dibayar dan diambil hari itu juga.

Saya sendiri tidak pernah mengalami masalah selama beberapa kali memperpanjang izin tinggal di sini. Kecuali dalam kurun 8 bulan terakhir ini, bukan bermasalah sih sebenarnya.. hanya kalau dalam waktu 8 bulan, saya sampai 4 kali mendapatkan izin tinggal... rasanya cukup menjengkelkan juga.. Dan untuk hal ini, saya juga tidak menyalahkan mereka, terlalu banyak 'kebetulan' yang membuat saya bernasib kurang baik seperti ini.

Kisah ini berawal ketika kami mudik ke Indonesia bulan Oktober tahun lalu. Cerita lengkapnya pernah saya tulis di sini. Dikarenakan masa berlaku paspor saya sudah kurang dari 6 bulan, maka saya diharuskan membuat paspor baru di Indonesia sebelum saya kembali ke Munich. Ditambah kedutaan Jerman di Jakarta yang tidak bisa mengeluarkan izin tinggal dengan status yang saya punyai terakhir, maka otomatis paspor lama dan paspor baru harus saya bawa kembali ke Munich. Sekembalinya di Munich, saya langsung memindahkan izin tinggal dari paspor lama ke paspor baru, dengan masa berlaku sama, yaitu 13 Februari 2009, sama dengan masa berlakunya paspor lama saya.

Ketika melihat paspor suami, ternyata izin tinggal dia berlakunya sampai 31 Maret. Lho.. kenapa berbeda? Jelas... karena paspor lama saya hanya berlaku sampai 13 Februari, sedangkan izin tinggal terakhir tersebut dibuat dua tahun sebelumnya. Sayangnya, ternyata izin tinggal anak-anak pun mengikuti tanggal berlaku punya saya, karena dulunya paspor mereka masih menempel ke ibu. Jadi ketika mereka mempunyai paspor masing-masing, otomatis izin tinggalnya masih tergantung izin tinggal terakhir yang nempel di paspornya ibu.

Akhirnya, 2 hari sebelum izin tinggal saya dan anak-anak jatuh tempo, kami berbondong-bondong datang ke KVR lagi. Dengan harapan si Akang bisa memperpanjang izin tinggalnya dia saat itu juga. Jadinya urusan ini akan selesai hari itu juga. Ternyata, karena si Akang mengajukan izin tinggal yang tidak terbatas masa berlakunya, maka secara birokrasi, izin tinggal tersebut harus melalui proses pemeriksaan dulu, katanya. Prosesnya sendiri bisa berlangsung dalam waktu 4 sampai 6 minggu. Sedangkan izin tinggal saya dan anak-anak sudah di ujung tanduk. Maka akhirnya kami diberi izin tinggal sementara sampai 31 Maret (sama dengan izin tinggal lama si Akang. Gak bisa lebih, karena kami sangat tergantung pada kepala keluarga). Dua kali...

Sebulan kemudian, si Akang kembali lagi untuk menyelesaikan proses izin tinggalnya tersebut. Alhamdulillah, setelah dihitung-hitung, masa tinggal dia di Jerman yang tidak pernah terpotong lebih dari 6 bulan, memenuhi syarat (5 tahun). Untuk Muenchen, student dihitung setengahnya dibanding yang kerja. Eh, lagi-lagi.. saya hanya dikasih izin tinggal sementara sampai bulan Juni. Alasannya? Karena saya datang bulan Mei 2004, maka bulan Mei ini saya akan genap 5 tahun. Jadi, istri Anda bisa mendapatkan izin tinggal tak terbatas bulan Juni nanti, katanya. Sebenarnya agak kecewa waktu itu, karena izin tinggal apapun buat saya sama saja, toh kami tidak berencana tinggal di sini selamanya. Tapi kalau memang si ibunya sendiri yang menganjurkan seperti itu.. baiklah.. toh dia lebih berpengalaman, pikir saya.

Akhir Mei lalu, saya datang lagi ke sana. Ternyata data-data saya sudah terpisah sendiri, tidak lagi sebundel dengan data si Akang dan anak-anak. Dan biasalah.. birokrasi.. katanya proses pemeriksaan data saya membutuhkan waktu 2 sampai 3 minggu. Setelah mengisi sebuah formulir, saya pun kembali pulang. Oya, waktu itu sempat menanyakan apakah masih ada syarat yang kurang? Dia bilang tidak. Apakah saya harus datang dengan suami? karena gosipnya, teman2 saya yang lain memerlukan tanda tangan suami untuk keperluan izin tinggalnya tersebut. Ternyata katanya tidak juga. Oke, berarti saya bisa datang sendiri lagi nanti.

Tiga minggu kemudian saya datang lagi. Dan si Ibu tampak sudah mengenali saya. Dia langsung mengambil data saya dan membolak-baliknya. Ternyata.. surat keterangan kerja dari kantor suami saya sudah kelamaan. Ini dari 4 bulan yang lalu, kami membutuhkan yang terbaru, ujarnya. Untungnya, pas ditelepon ke kantor, si Akang bisa nge-fax surat tersebut langsung ke KVR. Kalau begitu, izin tinggal Anda bisa selesai hari ini juga, katanya. Ploong deh.. 10 menit kemudian, saya ketok pintu ruangan si ibu, untuk memberitahukan bahwa suratnya sudah di-fax dari kantor suami saya. Ternyata si ibu malah menyuruh saya masuk dan mengajak bicara. Katanya, setelah dia ngobrol dengan atasannya, masa tinggal saya di sini masih kurang dari 5 tahun. Kenapa? bukannya dari 2004-2009 itu bulat 5 tahun? tanya saya. Ternyata, dalam 2 tahun pertama kedatangan saya, status si Akang masih student. Dan istri student juga dianggap sama seperti student, alias hanya dihitung setengahnya. Yang berarti persyaratan saya tinggal di sini masih kurang satu tahun. Ya ampuuuun.. kenapa sih baru ketahuan sekarang? bukannya dari dulu.. atau minimal dari ketika saya masuk ruangan tadi. Kan katanya ada proses pemeriksaan dulu selama 3 minggu. Kayaknya mungkin penghitungan masa tinggal tidak termasuk dalam proses 3 minggu tadi.. Ah.. birokrasi.. birokrasi..

Alhamdulillah.. akhirnya saya mendapatkan izin tinggal hari itu juga untuk 2 tahun ke depan. Meski penantian 3 bulan ini rasanya sia-sia.. Tapi saya yakinlah, pasti ada hikmah di balik semua ini.

Kartun

Waktu masih kecil dulu, saya lebih senang nonton film kartun daripada film dengan aktor aktris nyata. Mungkin di mata saya dulu (baca: anak-anak), kartun justru terlihat lebih hidup daripada manusia beneran :D Waktu itu saya merasa bahwa film kartun adalah film saya (maksudnya film buat anak-anak). Padahal sebenarnya tidak selalu begitu. Kalau saya perhatikan sekarang, banyak juga film kartun yang tidak cocok menjadi konsumsi anak-anak. Banyak film kartun dengan adegan sadis, yang sebenarnya film-film itu adalah tontonan favorit saya dulu. Tapi kok dulu saya melihatnya biasa-biasa saja ya??! :D Berbeda dengan kondisi sekarang, saya berusaha untuk menjauhkan anak-anak dari film-film seperti itu. Makanya, meski di rumah telah bercokol sebuah pesawat televisi, kami jarang menggunakannya untuk menonton saluran TV. Mereka lebih banyak nonton film-film yang saya pinjam dari perpustakaan. Setidaknya film-film tersebut sudah lulus sensor dari saya.. ;)

Eh, kok jadi ngawur.. Sebenarnya yang mau saya ceritakan bukanlah hal di atas. :D Karena seringnya saya menonton serial film kartun, saya pun secara tidak sengaja jadi memperhatikan karakter-karakter dalam film kartun tersebut. Menurut saya, hampir semua karakter dalam sebuah film, gambar dasarnya sama saja, hanya berbeda dalam detilnya. Misalnya dikasih model baju yang berbeda, warna dan model rambut berbeda, dipakaikan kacamata atau bintik-bintik di muka, jadi deh dua tokoh berbeda.

Nah, semenjak tinggal di sini, saya kok sering menemukan hal serupa di dunia kartun, tapi di dunia nyata. Misalnya, pernah suatu kali, ketika saya sedang di angkutan umum, tiba-tiba saya kaget ketika melihat seseorang yang saya kenal. Ya, dia sama persis dengan tetangga saya. Hanya saja ibu yang ini rambutnya keriting dan kuning keemasan, ditambah dengan mantel selutut dan tas tangan yang dia simpan dipangkuannya. Tampak berbeda sekali dengan ibu tetangga saya yang lebih sering kelihatan mengenakan daster lengkap dengan ciputnya. Tapi senyumnya... SAMA persis.. tak ada yang beda sedikit pun.

Begitupun dengan kemarin, ketika saya melewati toko roti, saya merasa mengenali seseorang yang saya kenal di sana. Saya sampai berjalan mundur kembali untuk memperhatikannya. Kalau memang dia saya kenal, tentunya harus di sapa donk. Wajahnya.. senyumnya.. persis.. Hanya rambutnya yang berbeda, orang ini ternyata memiliki rambut gimbal ala penyanyi Reggae. Dan ternyata dia bukanlah kenalan saya.. :D

Hm.. kadang saya merasa seperti sedang di dunia kartun. Tapi makin lama, saya makin merasa kagum pada-Nya, yang mampu menciptakan ribuan macam karakter di dunia ini.

Tuesday, May 26, 2009

Baby Utun: Catatan 8 --> sakit dikala hamil

Hari Jumat pekan lalu kembali saya kontrol ke dokter. Tapi kali ini benar-benar ketiban sial yang bertubi-tubi. Mungkin karena hari Kamisnya libur, maka di hari Jumat tersebut, para perawatnya pada ngambil cuti. Akhirnya yang masuk cuma satu orang. Biasanya ada dua, bahkan tiga orang. Jadi si satu orang perawat ini berperan sebagai resepsionis, petugas di laboratorium.. bahkan menerima telepon yang masuk. Akibatnya dia menjadi sangat hektik.. terburu-buru.. dan cenderung melakukan banyak kesalahan.

Ketika mengambil darah dari jari, dia menyemprot jari manis saya. Dan saya pun langsung berpaling.. karena gak kuat melihat jari sendiri ditusuk jarum. Dan.. OOUCHHH.. sayapun menjerit, karena ternyata dia malah menusuk jari tengah saya. Dia pun meminta maaf. Kedua pemeriksaan CTG yang harusnya berlangsung sekitar 15 sampai 20 menit, ini hampir 40 menit. Saya sampai berpikir.. jangan-jangan si ibu lupa punya pasien di kamar ini.. :D Setelah ini, saya masih harus menunggu ke ruang dokter. Maryam sampai bosen bermain.. biasanya sebelum dia bosen, kami sudah dipanggil duluan. Belum lagi ketika saya meminta kopi surat dr dr. R, dia salah mengkopi juga. Total, hampir dua jam kami terperangkap di tempat dokter.

Monday, May 25, 2009

Imunisasi

Minggu lalu kami bertiga pergi ke dokter anak untuk melakukan imunisasi. Maryam mendapatkan vaksin hepatitis A + B yang terakhir (ketiga), dan Nadin mendapatkan vaksin Meningokokken. Alhamdulillah anak-anak tidak menangis, mereka malah senang dan bahagia mendapat hadiah kecil dari dokternya (stempel dan tato) :D

Bagaimana  anak-anak bisa mendapatkan vaksin hepatitis A dan B sekaligus? padahal hepatitis B merupakan salahsatu vaksin yang ditanggung asuransi. Ini semua berkat anjuran dari dokter anaknya sejak vaksin pertama dulu.

Di Jerman, vaksin pertama diperoleh ketika bayi berusia dua bulan. Vaksin ini merupakan vaksin simultan, gabungan dari beberapa macam vaksin. Ada dua macam yang ditawarkan oleh dokter anak. Ada yang di sebut 6 Fach Impfung, terdiri dari Tetanus, Diphtherie, Pertussis, Haemophilus influenza b (Hib), Hepatitis B dan Poliomyelitis. Dan ada yang disebut 5 Fach Impfung, yang terdiri dari vaksin-vaksin di atas, kecuali Hepatitis B. Saya sendiri waktu itu bingung, akhirnya saya konsultasikan langsung dengan dokternya, lebih baik ambil yang mana. Menurut dokter anak tersebut, karena kami berasal dari Indonesia, dimana anak-anak kami membutuhkan vaksin Hepatitis A (yang harus bayar sendiri), maka sebaiknya saya mengambil yang 5 Fach Impfung, biar lebih murah. Waktu itu saya pikir, harga vaksin hepatitis A+B lebih murah dibandingkan dengan vaksin hepatitis A saja. Ternyata, setelah berdiskusi dengan seorang teman yang mengambil 6 Fach Impfung dulunya, lebih murahnya bukan dari harga vaksinnya. Harga vaksin justru lebih mahal sedikit, tapi hepatitis A+B tidak perlu lagi membayar ongkos suntik ke dokternya.

Vaksin jenis pertama ini dilakukan sebanyak tiga kali, dengan jarak minimal masing-masing 4 minggu (usia 2, 3 dan 4 bulan). Tahun 2007, ketika Maryam lahir, ada vaksin baru, Pneumokokken dan Meningokokken. Jadi, ketika paha kanan disuntik 5 Fach Impfung, paha kiri disuntik Pneumokokken. Jadi, pada 3 vaksin pertama, si anak mendapat dua suntikan sekaligus.

Vaksin berikutnya di bulan ke-13, yaitu MMR, dilakukan sebanyak dua kali dengan jarak minimal 4 minggu. Dan 4 minggu kemudian dilakukan pengulangan 5 Fach Impfung + Pneumokokken.

Setelah semua vaksinasi wajib selesai, barulah vaksin Hepatitis A bisa diberikan ke anak. Vaksin ini memang baru bisa diberikan setelah anak menginjak usia 1 tahun. Dilihat dari riwayat Nadin dan Maryam, ternyata vaksin ini diberikan 2 kali dalam jarak 1 bulan, yang ketiganya diberikan 6 bulan setelah vaksin kedua. Vaksin ini juga merupakan beban sendiri alias tidak termasuk yang ditanggung asuransi. Dan beruntungnya saya, karena awalnya saya mengambil 5 Fach Impfung, maka vaksin kali ini gabungan antara hepatitis A dan B, jadinya biaya suntiknya ditanggung asuransi :D

Imunisasi berikutnya untuk Nadin tahun 2011 (Diphtherie-Tetanus-Pertussis-Hib) dan 2016 (Poliomyelitis). Sedangkan untuk Maryam, tahun 2013 (Diphtherie-Tetanus-Pertussis) dan 2018 (Poliomyelitis).

Sebenarnya Nadin mendapatkan vaksinasi lain selain yang diatas, yaitu Zeckenimpfung. Dia memperoleh vaksinasi ini di tahun kedua usianya, berselingan dengan vaksin Hepatitis A + B. Anehnya Maryam tidak disarankan mendapatkan vaksin ini. Ternyata, saya baru tahu dr Mpok Aas dan Mbak Echa, bahwa memang perkembangan Zecke ini bisa berbeda setiap tahunnya. Seperti tahun ini misalnya, menurut dokter anak saya, Munich tidak termasuk daerah rawan Zecke. Makanya, kalau kami hanya akan tinggal di Munich dan sekitarnya selama musim panas ini, Maryam tidak memerlukan Zeckenimpfung. Tapi kalau kami berencana wanderung ke Bodensee atau Schwarzwald (misalnya), maka kami sangat disarankan untuk mengambil vaksin tersebut.

Thursday, May 21, 2009

berapa.. berapa tahun??

Semenjak Nadin masuk TK, dia mulai mengenal yang namanya ulang tahun. Sebelumnya?? tidak.. :D Sampai saat ini, sudah dua kali dia merayakan ulang tahunnya di Kindergarten.. ini juga karena wajib, bukan semata-mata keinginan kami. Sejak ini pulalah, dia mulai mengenal lebih dekat kata tanya 'berapa'. Karena berhubungan dengan umur, tentu saja pertanyaannya menjadi 'berapa tahun?'. Dia mulai menanyakan umur-umur anggota keluarga di rumah.

Nadin: "Kalau Nadin 4 tahun, kalau Maryam berapa tahun, Mama?"
Mama: "2"
Nadin: "Oo.. kalau Mama?"
Mama: "28"
Nadin: "O.. 28.. kalau Papa berapa tahun?"
Mama: "30"
Nadin: "Oooo.. kalau Papa ulang tahun, lilinnya banyak sekali ya?!"

hihihi.. maklum, kalau ulang tahun di Kindergarten, lilinnya bukan lilin angka, tapi lilin satuan yang jumlahnya disesuaikan dengan umur.

Gara-gara suka nanyain umur, segala pertanyaan 'berapa' selalu menjadi 'berapa tahun'. Misal saat naik kendaraan umum (bus, tram, U-Bahn ataupun S-Bahn), yang dia tanya pasti, "Mama, berapa tahun naik busnya?" maksudnya sih berapa halte... atau "Mama, berapa tahun bebeknya?" maksudnya sih berapa biji.. dan berapa-berapa yang lain.. Aneh juga sih, padahal dia sudah mengenal berhitung jauh sebelum mengenal ulang tahun. Jadi seharusnya sudah mengenal kata 'berapa' lebih dulu daripada 'berapa tahun'. Tapi mungkin yang paling berkesan untuknya memang kata 'berapa tahun' itu, makanya paling nempel di kepala.

Sekarang Nadin udah mulai mengerti. Pertanyaan 'berapa tahun'nya tidak sesering beberapa bulan yang lalu. Tapi juga belum tepat untuk setiap pernyataan. Kalau dia bingung, biasanya pertanyaannya menjadi 'berapa' atau 'ada berapa'.

Kalau Maryam lain lagi, kata tanya berapa-nya jadi 'siji apa?'. Awalnya sih bingung.. ini kata maksudnya apa? ternyata ini adalah pertanyaan 'berapa'. Entahlah berasal dari kata apa.. 'sabaraha hiji?' atau 'berapa biji?'.. ah.. kayaknya dua2nya juga kebalik.. :D

Thursday, May 14, 2009

Belajar memilah sampah

Membuang sampah di sini bukanlah hal yang sederhana dan mudah. Tidak seperti di rumah dulu, dimana saya hanya mempunyai satu tempat sampah, semua jenisnya masuk ke situ, dan langsung dibuang dengan kantongnya ketika sudah penuh. Di sini, sampah harus dibuang berdasarkan jenisnya. Ternyata pengelompokan sampah ini pun bisa beda antara satu Gemeinde dengan Gemeinde yang lain. Bahkan antara rumah yang satu dengan rumah yang lain (kadang ada rumah yang tidak menyediakan tempat sampah bio, jadinya sampah bio dan sampah sisa dicampur begitu saja). Makanya ketika sedang di rumah orang, saya pun masih harus bertanya sampah ini dibuangnya kemana.

Dari pengalaman tinggal di dua daerah dan hasil berbagi pengalaman dengan teman-teman yang kebetulan tinggal di lain Gemeinde, ternyata penyortiran sampah di Munich termasuk yang paling lengkap (baca: rumit), meski pada dasarnya hampir sama saja. Di sini biasanya masing-masing rumah (beberapa rumah) memiliki tempat sampah bio, kertas dan Restmuell (sampah sisa). Sedangkan pembuangan sampah gelas (dipisahkan lagi menjadi gelas putih, hijau dan coklat) dan sampah yang bisa didaur ulang (biasa di sebut Gelbetone, yang mana dipisahkan lagi atas sampah plastik dan kaleng/logam) biasanya ada di masing-masing RW. Kebetulan di lingkungan rumah saya, selain tempat sampah tadi, ada juga tempat pembuangan sampah baju dan sepatu. Dan untuk pembuangan benda-benda besar, misalnya peralatan rumah tangga, ada dalam lingkup yang lebih besar lagi, katakanlah kecamatan.

Untuk memudahkan membuang sampah, saya memilih telah menyortir sampah-sampah tersebut sejak di rumah, daripada saya harus menyortir nanti saat membuang sampah. Makanya di rumah ada banyak sekali tempat sampah. Awalnya saya tidak membiarkan anak-anak membuang sampah sendiri. Jadi saya biarkan mereka mengumpulkan sampah bekas makanannya di meja, nanti saya yang membuangnya ke tempat sampah.

Sejak beberapa bulan yang lalu, saya mulai berpikir, bahwa mereka sebaiknya diajarkan sejak dini. Anak-anak mulai saya minta untuk membuang sampah mereka sendiri ke tempat sampah di dapur. Untuk memudahkan mereka, masing-masing tempat sampah saya labeli dengan warna yang berbeda. Dan ternyata kegiatan menyortir sampah ini menjadi kegiatan yang mengasyikan untuk mereka. Nadin, yang sudah berumur 4 tahun, bisa mengerti dengan cepat. Meski tiap mau buang sampah, dia bertanya dulu, ini sampah plastik atau kertas? bersih atau kotor? yang biru atau yang merah? padahal sebenarnya dia sudah bisa membedakan sendiri.

Maryam (2 tahun) juga ikut-ikutan. Tiap habis makan sesuatu, pasti bertanya, "buang mana?", maksudnya dibuang kemana. Suatu hari, dia mau membuang bungkus kertas bekas makanannya dia.

Maryam: "buang mana?"
Mama: "Itu kertas, Sayang. Buang ke yang biru."
Maryam: "beureum aja.." sambil nyengir.
Mama: "Eh.. itu mah biru atuh.."
Maryam: "beureum!" sambil berbalik menuju dapur.
Mama: "biru!"
Maryam: "Oh, beureum.. okeh!" sambil berlari ke dapur
Mama: *gubraks!!*

Friday, May 8, 2009

Baby Utun: Kontrol kelainan jantung

Pada pemeriksaan Praenatal Diagnostik yang lalu, dokter R menganjurkan untuk kembali melakukan pemeriksaan pada usia kandungan 28 - 30 minggu. Waktu itu, saya menyebutkan kalau salah satu keponakan saya ada yang terlahir dengan kelainan jantung  bawaan. Sebenarnya saya sudah menolak ke dokter kandungan saya untuk tidak melakukan pemeriksaan ini.. hanya karena saya males bikin janjinya.. hehehe.. dan khawatir harus bayar sendiri, resikonya juga hanya 4% saja. Tapi ternyata dokter F menjelaskan kembali, bahwa itu adalah basisrisiko, maksudnya setiap wanita hamil mempunyai kemungkinan anaknya mengalami kelainan jantung bawaan sebesar 4%. Seandainya di keluarga sudah ada yang seperti itu, tentunya resiko yang dihadapi oleh saya lebih besar lagi. Dan selama saya membawa surat transfer (Überweisungschein) dari dokter F, maka saya tidak harus bayar sendiri.

Setelah membuat janji sebulan yang lalu, akhirnya hari Senin yang lalu saya bertemu kembali dengan dokter R. Pemeriksaan kali ini agak berbeda dengan sebelumnya, dimana saya tidak boleh meminyaki/memberi krem pada permukaan perut 5 hari sebelum pemeriksaan. Dan terus terang.. ini cukup menyiksa karena harus menahan gatal.. :D Untungnya kali ini tidak usah. Kali ini tidak ada lagi wawancara, saya langsung melakukan CTG selama 30 menit.. sampai ketiduran.. :D Setelah itu baru bertemu dengan dokternya.

Awalnya saya pikir, pemeriksaan kali ini akan berjalan lebih singkat, karena dokter hanya akan melihat kondisi jantung si anak saja. Ternyata tidak.. Pemeriksaan tetap lama.. Kondisi bayi dari luar sampai dalam, dari ujung rambut sampai ujung kaki tetap diperiksa. Hanya memang tidak sedetil yang dulu, dan jantung memang diperiksa lebih teliti.. karena pada pemeriksaan sebelumnya masih belum kelihatan jelas. Hasilnya alhamdulillah baik.. jantungnya normal. Kondisi fisik yang lain juga normal, beratnya sekarang sudah 1194 g (hm.. hampir 200 g dalam seminggu?? gede juga..).

Anehnya dokter R tidak menyambit-nyambit tentang kondisi plasenta saya yang sangat dikhawatirkan oleh dokter F. Akhirnya saya bertanya, dimana posisi plasenta sekarang? Menurutnya, plasenta saat ini ada di atas belakang. Heh?? bukan di bawah, Dok?? Tepat seminggu sebelumnya, dokter F menyatakan saya mengalami Placenta Previa. Dokternya sendiri heran, maka untuk meyakinkan, dia mengganti alat menggunakan USG bawah. Dari situ kelihatan kalau jalan lahir masih tertutup, jarak antara Plasenta dengan mulut rahim lebih dari 3 cm, cukup jauh. Dan ini tidak termasuk Placenta Previa, katanya. Alhamdulillah.. berarti dalam seminggu saja, Plasenta sudah mulai bergeser menjauhi mulut rahim. Alhamdulillah.. :)

Oiya, berhubungan dengan ukuran perut yang semakin membesar, ternyata ada yang berubah juga dengan kebiasaan Maryam. Akhir-akhir ini dia senang sekali melingkari perut besar ibunya sambil menghujaninya dengan ciuman.. "Sayang Utuuun.." dengan mulut manyunnya.. :D Terlebih ketika dia bete dan sedih karena habis berantem dengan kakaknya, dia bakal langsung memeluk adiknya (yg masih di dalam perut tentu saja).. sambil mencium-ciuminya.. lucuu.. :D
 

Thursday, April 30, 2009

Baby Utun: Catatan 7 --> Placenta-Previa

Tanpa terasa kehamilan kali ini sudah memasuki trimester terakhir. Kali ini pemeriksaan mulai lengkap, dari mulai timbang badan, urin, darah, sampai CTG (cardiotocography). Bahkan USG yang digunakan sekarang dua-duanya.

Berat badan bulan ini bertambah 3,5 kg, masih kelihatan belum hilang 'maruk'nya. Nafsu makan memang masih membabi-buta, apalagi kalau lagi di rumah orang.. hehehe.. Untungnya si makanan lari ke tubuh ibunya, bisa dilihat dari ukuran kaki, tangan dan pipi yang semakin membesar. Sedangkan ukuran bayi masih dalam batas normal, hanya 1016 g. Ibu dokter sampai berkomentar begini kali ini, "Sie müssen doch genug essen, aber nicht zu viel" (Anda memang harus cukup makan, tapi tidak terlalu banyak ya..). Ah.. perasaan selama ini juga saya makan kalau saya lapar aja, Dok.. hehehe.. perasaan...

Hb kali ini sedikit menurun menjadi 11,3. Menurut dokter ini terlalu rendah, jadinya saya diberinya zat besi. Pantesan akhir-akhir ini memang sering gampang cape dan pusing.

Pemeriksaan CTG mulai dilakukan. CTG (Cardiotocography) merupakan alat untuk merekam detak jantung janin dan kontraksi rahim. Dengan alat ini, bisa diketahui apakah kondisi bayi baik-baik saja atau stress, juga untuk mengecek apakah rahim sudah mulai berkontraksi atau belum. Biasanya selama proses melahirkan, alat ini digunakan untuk membantu dokter/bidan mengetahui kontraksi dari pasiennya. Jadinya kita gak bisa bohong kalau kontraksinya udah tiap 5 menit atau belum. :D Dari hasil CTG, alhamdulillah kondisi bayi baik, rahim juga belum menunjukkan adanya kontraksi.

Pemeriksaan USG menunjukkan belum terjadi pembukaan, dan plasenta ternyata berada dekat sekali dengan leher rahim. Hal ini sebenarnya sudah diketahui sejak saya periksa USG 4D beberapa minggu yang lalu. Tapi waktu itu dokter tidak khawatir dan saya pun tidak tahu resiko dari plasenta di bawah tadi. Ternyata diagnosa ini memang baru bisa dipastikan pada usia kandungan 26-28 minggu, dimana mulai terbentuk segmen bawah rahim. Saat segmen ini terbentuk, leher rahim yang awalnya berbentuk seperti corong akan memipih. Perubahan inilah yang bisa menyebabkan plasenta berpindah menjauhi jalan lahir. Meski demikian, kondisi paling optimum bisa dipastikan saat mendekati persalinan nanti. Dan kali ini, dokter meminta saya untuk waspada. Jika terjadi pendarahan besok lusa, saya harus cepat-cepat pergi ke rumah sakit katanya. Pendarahan bisa terjadi saat terbentuknya segmen bawah rahim, dimana ada bagian plasenta yang "robek" oleh pergeseran jaringan di sekitar mulut rahim. Atau bisa juga oleh tekanan kepala janin saat mulai memasuki segmen bawah rahim sebagai persiapan menuju persalinan.**

Setelah baca-baca, ternyata Placenta Previa itu ada 4 macam:**
  1. Placenta previa totalis: jika plasenta menutupi jalan lahir. Pada kondisi ini tidak dimungkinkan proses kelahiran normal, karena resiko pendarahan sangatlah besar.
  2. Placenta previa partialis: jika plasenta menutupi sebagian jalan lahir. Resiko pendarahan masih sangat besar, sehingga masih belum bisa melahirkan normal.
  3. Placenta previa marginalis: jika hanya bagian tepi plasenta yang menutupi jalan lahir. Proses kelahiran bisa normal, namun resiko pendarahan tetap besar.
  4. Low-lying Placenta: jika posisi plasenta berada sangat dekat dengan jalan lahir. Proses kelahiran normal, resiko pendarahan bisa dihindari, asalkan dilakukan dengan hati-hati.
Saat ini kondisi yang saya alami adalah kondisi no.3, Placenta previa marginalis. Dokter dan saya tentu saja, masih berharap semoga plasenta masih bisa berpindah ke atas sebelum proses melahirkan nanti. Amiin...

Catatan:
Sumber (**): beberapa informasi dalam artikel ini diperoleh dari http://tonangardyanto.blogspot.com/2006/04/placenta-previa-plasenta-bisa-pindah.html

Hari Senin jangan lupa pergi ke dokter 4D lagi... ;)

Segera bikin janji dengan rumah sakit untuk pendaftaran melahirkan..

Wednesday, April 22, 2009

Kejutan Multibahasa

Tak pernah terbayang dalam benak kami, kalau kami akan membesarkan anak-anak kami dengan banyak bahasa (multilingual). Keberadaan kami yang sampai saat ini masih terdampar di negeri oranglah, yang akhirnya membuat anak-anak belajar lebih dari bahasa ibunya. Sayangnya, saya terlalu percaya diri untuk mendidik anak-anak dengan 'cara saya', yang membuat saya akhirnya kurang peduli dengan teori-teori yang sebenarnya banyak bertebaran di internet. Akibatnya, saya baru menyadari akhir-akhir ini, ternyata banyak kesalahan yang saya lakukan di masa lalu. Tapi hal ini menjadi pelajaran untuk saya dalam mendidik anak-anak saya selanjutnya.

Melihat kondisi bahasa daerah kami yang semakin memburuk setiap harinya, kami bertekad semenjak putri pertama kami lahir, untuk mengajarkan dia bahasa daerah (Sunda) sebagai bahasa pertamanya. Bahasa Indonesia akan kami biarkan dia mendapatkannya dari lingkungan dan sekolah. Ternyata, lingkungan di sini kurang mendukung untuk membiarkan si anak belajar bahasa Indonesia dengan sendirinya. Intensitas pertemuan dengan orang Indonesia tidaklah cukup untuk membuat anak bisa belajar bahasa Indonesia dari mereka. Sehingga kemampuan bahasa Indonesia Nadin sangatlah minim, ditambah lagi banyak yang tidak bisa berbahasa Sunda. Saya menjadi sedikit khawatir, Nadin menjadi kurang percaya diri karena bahasa yang dia kuasai ternyata berbeda dengan orang Indonesia lainnya. Akhirnya ketika dia berusia sekitar dua tahun, saya mulai mengintensifkan berbicara dalam bahasa Indonesia dengannya. Bahasa Sunda juga tidak dihilangkan, masih tetap dipakai. Saya usahakan untuk berbicara satu kalimat penuh dalam bahasa Sunda.. atau satu kalimat dalam bahasa Indonesia. Maksudnya agar si anak tidak mencampuradukkan kedua bahasa tersebut. Tapi (mungkin) memang dasarnya saya kalau bicara bahasanya amburadul, bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan.. atau bahasa Sunda yang keIndonesia-Indonesian, meskipun saya sudah berusaha untuk menyusun kalimat sesempurna mungkin, ternyata yang tertangkap sama anak justru yang amburadul itu.

Ketika Nadin memasuki taman kanak-kanak di usianya yang ketiga, dia mulai belajar bahasa asing, yaitu bahasa Jerman, yang memang menjadi bahasa pengantar di sekolahnya. Meski kemampuan bahasanya NOL ketika memasuki TK, alhamdulillah dia bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kemampuan bahasa Jermannya makin bertambah dari hari ke hari. Meski sampai saat ini dia belum selancar teman-teman sebayanya dalam berbicara bahasa Jerman, tapi dia masih bisa 'hidup' di sekolahnya..

Di usianya yang keempat, dia mulai bisa membedakan.. mana yang bahasa Indonesia, mana yang bahasa Jerman, juga kapan, dimana dan dengan siapa dia harus menggunakan bahasa-bahasa tersebut. Hal ini baru saya sadari ketika saya membawanya ke dokter anak untuk melakukan U8. Saya juga mulai mengenalkan keberadaan bahasa Sunda. Sebelum-sebelumnya saya hanya bicara saja dalam bahasa Sunda, tapi tidak pernah bilang ke Nadin bahwa ini adalah bahasa Sunda. Sekarang dia mulai tahu, bahwa sekarang di rumah dia menggunakan dua bahasa. Dan dia mulai mengelompokkan kosakata-kosakata yang dia tahu ke dalam bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia. Misalnya:
"Mama, kalau 'hideung' bahasa Sunda atau bahasa Indonesia?"
"Bahasa Sunda"
"Bahasa Indonesianya apa?"
"Hitam."
"Kalau blablabla...?"
dst.. dst..

Sejak kecil, Nadin senang sekali main game di Internet. Dan kebanyakan situs-situs yang menyediakan game yang paling beragam dan menarik untuk anak-anak menggunakan pengantar bahasa Inggris. Saya sendiri tidak pernah mengajarkan bahasa Inggris pada Nadin, saya pikir 3 bahasa pokok untuk saat ini cukup. Bahasa Inggris, meskipun bahasa Internasional, biarkan dia mempelajarinya saat waktunya tiba, kelak. Tanpa disangka-sangka, ternyata dia bisa juga menangkap beberapa kata dari yang sering dia dengarkan di situ. Misalnya: tiba-tiba suatu hari dia bilang, "Mama.. bunga itu kalau bahasa Inggris flower..". Di lain waktu, dia menemukan kata lain, dan dilaporkan lagi.. "Mama, kalau kucing itu bahasa Inggrisnya Cat.". Dan masih ada beberapa kosakata lagi yang dia kenal...

Akhir-akhir ini, Nadin sering sekali memberi kejutan seputar bahasa. Misalnya:
*****************************
ketika saya menonton drama korea atau Jepang, tanpa sengaja dia ikut mendengarkan. Diapun bertanya, "ini bahasa apa sih, Mama? Kok kayak bahasa Indonesia ya??". "Oh.. bukan.. ini mah bahasa Korea/Jepang.". Untung komentar berikutnya cuma.. "ooh..". Bukan "bahasa Koreanya kaos kaki (misal) apa?".
*****************************
Satu kali kami menonton Video Barney di Youtube, yang tentu saja memakai bahasa Inggris. Tiba-tiba dia berkomentar,
"Mama, Barney pinter ya?!"
"Oya?"
"Iya, Barney bisa ngomong bahasa Indonesia, bahasa Jerman sama bahasa Inggris"
Saya bengong.. dan kemudian barulah ingat, kalau dia pernah dipinjamkan VCD Barney yang dialihsuarakan ke bahasa Indonesia.. dia juga suka main game Barney dengan pengantar bahasa Jerman.. dan saat itu, kami sedang menonton video Barney dengan lagu bahasa Inggris. Halah.. saya kok gak pernah kepikiran kalau si Barney ini pinter bisa multilingual ya?!
*****************************
Suatu hari tiba-tiba dia memulai pembicaraan.
"Mama, kalau hiji, dua, tilu, .., sapuluh itu bahasa Indonesia. Kalau satu, dua, tiga, ..., sepuluh, itu bahasa Sunda."
*kaget* "Oo.. bukan, kebalik sayang.. hiji dua tilu itu bahasa Sunda... kalau satu dua tiga bahasa Indonesia."
Sejak ini, dia menjadi sering menanyakan mana yang bahasa Sunda.. dan mana yang bahasa Indonesia.
*****************************
Kesalahan paling fatal yang pernah saya lakukan, ketika dia kecil (kurang lebih usia satu tahun dsk), saya mengajarkan bahasa yang paling mudah untuknya. Tidak konsisten bahasa yang sebenarnya ingin saya ajarkan. Kenapa? Saat itu, sebagai orang tua dari anak pertama, rasanya saya selalu geregetan menunggu setiap tahap perkembangan anak. Termasuk dalam perkembangan bicara. Dan bodohnya saya waktu itu, saya menilai ada beberapa kata tertentu yang terlalu sulit untuk dia ucapkan (padahal sebenarnya tidak ada yang sulit bagi si anak.. mereka hanya perlu waktu). Akhirnya saya mengajarkan kata-kata yang menurut saya mudah untuknya. Misalnya: tikus dan beurit (bahasa Sunda), saya rasa terlalu sulit untuk lidah Nadin, maka saya mengajarkan kata 'Maus' padanya. Dan kata itu terbawa sampai sekarang, meski saya sudah 'insyaf', di luar kesadaran saya. Karena kata 'Maus' memang sering digunakan untuk menyebut salah satu tokoh kartun, bukan tikus beneran. Akibatnya, beberapa waktu lalu, Nadin berkesimpulan bahwa tikus dalam bahasa Indonesia, Sunda, Inggris dan Jerman adalah sama, yaitu 'Maus'. Tanpa angin dan hujan, saya pun merasa seperti disambar petir... Ini benar-benar kesalahan terbesar yang pernah saya lakukan, tamparan paling keras untuk saya dalam mengajarkan bahasa ke anak. Akhirnya saya jelaskan kata tersebut dalam bahasa-bahasa yang dia kenal. Dan alhamdulillah, dia bisa mengerti. Untunglah...

Dari pengalaman-pengalaman tersebut, ada beberapa catatan yang patut saya garis bawahi untuk mengajarkan bahasa ke anak-anak saya selanjutnya:
  1. Jangan pernah menganggap kurang kemampuan si anak. Mereka sebenarnya jauh lebih pintar dibandingkan orang tuanya. Sesusah apapun kata yang harus diajarkan ke mereka, mereka pasti bisa mengikuti.
  2. Jangan pernah mencampuradukkan bahasa.

Wednesday, April 15, 2009

Liburan


tas bergambar Nadin

Liburan kali ini lebih istimewa dibandingkan liburan2 sebelumnya. Soalnya si Akang juga kebetulan sama-sama (di)libur(kan). Jadinya kami bisa pergi bersama-sama kemana saja. Kebetulan cuaca benar-benar mendukung untuk beraktivitas di luar rumah. Meski tidak semuanya berjalan sesuai rencana, tapi alhamdulillah tetep menyenangkan. Dan satu hal yang patut disyukuri, di liburan kali ini, kami berhasil mengunjungi orang-orang yang memang ingin kami temui sejak lama, meski belum semua nih.. Dan sayangnya tidak semua event kefoto.. biarlah.. yang penting orang-orang itu ada di hati ya?!

Ternyata asyik juga ya suami di rumah terus.. banyak dibantuin.. Seandainya dia libur selamanya.. *dezighhhh* Mo makan apa nanti, Neng??

Tuesday, April 14, 2009

Jalan-jalan ke Bonbin




Jarang-jarang juga sih kami jalan-jalan ke sini.. tiketnya itu.. kerasa banget.. Eh, tapi masih mahalan Playmobil dink.. soalnya di sini (ternyata) ada tiket keluarga, jadi bisa lebih murah. Selain itu, capenya juga sih.. kelalang-keliling.. lumayan menghabiskan tenaga.

Apalagi kemaren, jalan-jalannya rada maksa sebenarnya. Mengingat hari Minggunya kami udah piknik di Olympiapark sampe sore. Tapi anak-anak udah dijanjiin sejak lama mau jalan-jalan ke bonbin. Rencananya sih minggu lalu kami ke sana, sayangnya anak-anak malah demam, jadinya diundur. Nah, kemaren mereka cuman batuk pilek aja.. gak apa-apalah dibawa jalan, apalagi mereka ceria-ceria aja.. Ditambah lagi ada info kalau di sana hari itu ada acara berburu telur paskah. Kayaknya bakal menarik buat anak-anak.. pikir saya.

Dalam bayangan saya, telur-telur coklat bakal disebar di seluruh kebun binatang. Anak-anak tinggal mungutin sambil jalan.. Ternyata.. pas ke sana, jauuuuh dari yang saya bayangkan. Pertama, yang dicari ternyata bukan telur paskah, melainkan Goldhasen (kelinci emas), itu lho.. coklat kelinci Lindt yang tenar banget itu. Itupun bukan kelincinya langsung yang dicari, tapi anak-anak di suruh mencari 11 huruf yang tersebar di seluruh area kebun binatang, dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan dalam selembar kertas. Setelah selesai, si anak boleh menukarkan hasil buruannya dengan sebuah coklat kelinci tadi. Permainan ini cocok buat anak yang udah sekolah sih.. pertanyaannya buat saya sendiri lumayan susah.. hehe.. jadinya gak dikerjain. Apalagi anak-anak lagi pada batuk, nambah alesan untuk tidak menebus coklatnya.. :D

Pulangnya, tanpa sengaja kami menemukan ada aksi dandan anak gratis (Kinderschminken), yang pastinya, Nadin begitu melihat posternya aja langsung kepengen. Hari itu akhirnya jadi hari yang cukup melelahkan tapi menyenangkan pastinya.. ;)

Sunday, April 12, 2009

bayar masing-masing yah..

Kemarin sore saya belanja ke warung dekat rumah, sendirian. Jadinya, sambil ngantri membayar, tanpa sengaja saya memperhatikan orang-orang di sekitar saya waktu itu. Perhatian tertuju ke pasangan yang ada di depan saya. Pasangan?? atau teman?? Hm.. kayaknya sih lebih dari sekedar teman, soalnya mereka pegangan tangan dan tampak mesra sekali. Tapi apa yang terjadi?? Ketika giliran mereka membayar, ternyata mereka punya belanjaan masing-masing.. yang dibayar masing-masing pula. Padahal yang mereka beli juga tidak banyak. Yang perempuan hanya membeli keju dan coklat. Yang laki-laki hanya membeli sebungkus salami. Wah.. heran banget nih.. padahal kalau di Indonesia.. pasangan kayak gitu, pastilah dibayarin sama si cowoknya.. :D

Hal ini mengingatkan saya ke masalah makan-makan. Pernah seorang teman cerita, dia diajakin bosnya makan di Resto. Bayangkan, resto di sini harganya berapa? wartegnya aja udh cukup mahal buat saya mah. Dia udah kesenengan nih mo ditraktir bos. Ternyata, setelah selesai makan, si bos pengennya bayar masing-masing.. heheh... tekor deh yang ada.

Di sini memang, kalau makan di rumah makan, berdua atau rombongan, setelahnya si pelayan pasti bertanya, "Zusammen oder getrennt", maksudnya bayarnya disatuin apa masing-masing?. Sekalipun saya dan si Akang yang makan di sana sembari bawa anak-anak, selalu ditawarin gitu juga. Hm.. orang-orang di sini pada itungan apa memang udah kebiasaan ya?! hehe.. Mulanya saya pikir, hal ini hanya berlaku untuk teman biasa dan atau rekan kerja.. Ternyata kalau lihat pasangan yang tadi, tampak berlaku untuk orang-orang yang dimabuk cinta sekalipun..

Perutku perutmu.. Duitku duitmu.. halah.. :D

Friday, April 10, 2009

Merasa diri tidak pernah bertambah tua.. :D

Entah kenapa, tiba-tiba saja saya keingetan beberapa cerita di masa lalu, yang rada nyambung juga sama kondisi sekarang. Ah iya, pasti gara-gara kakak saya minggu lalu jumatan di Salman dan dia mencoba ikutan ngantri untuk makan siang di sana, meski tidak berhasil. :D

Sewaktu saya masih kuliah dulu, beberapa teman saya ada yang suka main ke kosan. Bahkan sebagian yang lain, pernah juga ada yang main ke rumah orang tua saya di kampung sana. Dengan pengalaman beberapa kali bertemu teman-teman saya ini, kakak kelima saya (terpaut 10 tahun usianya dengan saya) menyatakan bahwa, mahasiswa jaman sekarang kok kelihatannya masih pada anak-anak ya? Dulu mah kalau ngelihat mahasiswa teh asa 'karolooot' (tua), katanya. Dulu kapan?? dulu sewaktu dia masih SMA, dimana kakak kedua (yang pengen makan di Salman tadi) dan kakak ketiga saya masih kuliah di kampus yang sama dengan saya.

Waktu itu sih saya nggak terlalu memikirkan hal ini. Saya percaya aja kalau mahasiswa jaman dulu memang kelihatan lebih tua dibandingkan jaman saya kuliah. Sampai akhirnya, tahun lalu, kami menyempatkan diri untuk mengunjungi kampus kami dahulu. Ternyata selain banyak perubahan dalam hal bangunan, mahasiwanya juga masih pada kanak-kanak, hahaha... Saya bilang ke si Akang, kok mahasiswa jaman sekarang masih pada anak-anak begini sih?? beda ya ama jaman kita dulu?? :D *masih belum sadar, sebenarnya yang berubah siapa sih?*

Beberapa minggu yang lalu, saya bertemu dengan seorang mahasiswa baru di sini, yang ternyata saya dan dia satu almamater waktu SMA dulu, dan sekampus juga, hanya beda jurusan. Sayangnya, ketika dia masuk SMA, saya lulus, jadi kami memang tidak pernah bertemu. Dan minggu lalu, saya baru tahu kalau ternyata dia sudah menikah. Hah?? anak sekecil itu?? pikir saya. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya dia sudah berusia 25 tahun, usia yang sama ketika si Akang menikahi saya.

Ah, kenapa ya kalau melihat anak-anak sekarang, selalu kelihatan masih kecil di mata saya. Mungkin.. karena saya tidak pernah merasa bertambah tua.. :D *sadar, Neng.. sadar..*

Tuesday, April 7, 2009

Tes gula (Zuckerbelastungstest)

Setelah merubah jadwal, dari hari Jumat ke Senin, akhirnya saya bisa juga diperiksa kadar gula darah tanpa anak-anak. Gak kebayang aja kalau mereka di bawa serta, pasti bosen dan rewel di sana. Sayangnya, jam paling pagi untuk si dokter memang pukul 8.50, gak bisa lebih pagi lagi.. :D

Tesnya sendiri dilakukan di tempat praktek dokter kandungan saya. Jadi saya gak usah lagi repot-repot mencari tempat praktek dokter lain. Setelah berpuasa selama kurang lebih 9 jam, sampel darah dan urin yang pertama diambil. Setelah itu saya disuruh minum 300 mL larutan gula yang sudah jelas konsentrasinya berapa. Menunggu satu jam.. ambil darah dan urin lagi. Menunggu lagi satu jam.. kemudian diambil lagi sampel darah dan urin yang terakhir. Setelahnya, baru saya boleh sarapan.

Dari rumah, saya sudah membawa novel yang cukup tebal untuk bahan bacaan. Dan saya juga sudah berencana mau jalan-jalan di sekitar praktek dokter selama menunggu dari pengambilan sampel ke pengambilan berikutnya. Prakteknya??? boro-boro jalan-jalan.. untuk membaca saja kepala saya sudah pusiiiing.. kurang tenaga euy.. Akhirnya, saya cuma tiduran di sofa di ruang tunggu dokter. Lemes banget.. habis puasa kurang lebih 11 jam.. walah.. Biasanya jam 11 itu saya sudah makan snack yang ketiga, heuheuheu...

Hasilnya alhamdulillah memuaskan. Kadar gula darah saya ternyata normal, bahkan masih jauh dari ambang batas diabet. Berarti gendutnya memang karena kebanyakan makan saja. Dokternya bilang, Anda tidak usah diet.. kalau lapar, makan saja sampai perut Anda tercukupi.. hihii.. baiklah, Dok.. Tapi tetep, setelah kejadian ini, saya jadi agak-agak mengurangi makanan yang bergula banyak. Lebih baik makan yang netral2, kayak makanan bayi dan buah-buahan. Dan terima kasih untuk doa teman-teman semua. Alhamdulillah.. saya masih dijauhkan dari penyakit itu..

Monday, April 6, 2009

Masa lampau

Mula-mula Nadin mengenal masa lampau dari kumpulan foto-fotonya sewaktu kecil. Dan dia mulai mengerti adanya masa lalu sekitar usia 2,5 atau 3 tahunan. Awalnya, dia menyebut bayi yang ada di foto sebagai Maryam. Tidak heran sih, mereka memang mirip sekali. Jangankan Nadin, orang dewasa pun selalu keliru ketika melihat foto anak kami yang masih berusia di bawah satu tahun. Lama-lama, setelah dia hapal foto-fotonya, dia bisa membedakan yang mana Nadin, yang mana Maryam. Tapi.. ada satu kesimpulan lucu darinya, "Eh, lihat, Nadin pakai sepatu Maryam yah?!". Padahal mah.. Maryam yang sekarang memakai sepatu kakaknya waktu kecil dulu. :D

Beberapa bulan lalu, dia sudah bisa menggunakan keterangan waktu untuk menceritakan masa lampau. Tetapi, keterangan waktu yang dia pakai hanya 'kemarin'. Jadi, mau itu memang 'kemarin', 'seminggu lalu', 'dua bulan lalu', bahkan 'dua tahun lalu'.... dia selalu menggunakan kata 'kemarin'. Misalnya, 'Kemarin Ceuceu main ke rumah Alishya', padahal kejadiannya udah setahun lalu. :D

Sebulan terakhir ini, penggunaan keterangan waktunya mulai bertambah.. (atau berubah??). Dia lebih sering menggunakan kata 'Waktu Ceuceu kecil' dibandingkan kata 'kemarin'. Tapi, hukum yang berlaku di sini tetap sama seperti yang tadi. Mau itu 'dua tahun lalu', 'sebulan yang lalu', 'minggu lalu', bahkan 'kemarin' semuanya diganti dengan 'waktu Ceuceu kecil'. Misalnya, "Ceuceu main sama Teh Hani waktu Ceuceu kecil", padahal kejadiannya baruu aja siang tadi. :D

Nah, sekarang Maryam yang mulai dikenalkan dengan masa lalu, masa ketika dia masih bayi.. masa ketika dia belum lahir. Tapi, anak ini masih keukeuh dengan pendapatnya. Ketika melihat foto Nadin dengan bapaknya, dia dengan yakinnya menerka bahwa itu adalah foto dia sama Papa. Setelah dikasih tahu bahwa itu adalah kakaknya, dia tidak mau terima, "Kukaaan.. itu Maryam!". Kakaknya juga protes... akhirnya.. berantem lagi deh.. Ah, rumah memang tak pernah sepi.. :D

Thursday, April 2, 2009

Bermain dengan Cat Air




Sembari menunggu adiknya bangun dari tidur siangnya, ternyata Nadin bermain cat air dengan asyiknya. Ini dia hasil karyanya, dengan deskripsi dari sang pelukis.

Tuesday, March 31, 2009

Baby Utun: catatan 6 --> Diabetes selama Kehamilan

Kontrol terakhir kemarin masih seperti biasa, tes urin, tes darah (diambil darah yang banyak lagi.. ooohh... benci sekali yg ini), tekanan darah dan berat badan. Susternya baru, jadi meni lamaaaa banget kerjanya.. Tapi dia baik banget sih.. dan dia ternyata tau musibah yang sedang melanda Jakarta (Situ Gintung tea..), ternyata beritanya sampai juga di sini. Semua kondisi baik-baik saja sebenarnya. Dari hasil USG, kepala bayi sudah di bawah katanya, meski dalam usia segini sih saya yakin dia masih muter-muter. Plasenta dan kondisi rahim juga oke, jantung bayi normal, air ketuban cukup, pokoknya semuanya baik-baik saja, Alhamdulillah.

Hanya satu yang cukup membuat kaget. Kenaikan berat badan yang cukup drastis, 4 kg dalam 4 minggu!! Sementara usia kehamilan belum masuk trimester ketiga. Kalau dilihat dari sejarah kehamilan sebelumnya, saya tidak pernah naik berat badan sebesar ini, kecuali pada masa-masa akhir. Yah, kehamilan kali ini memang sedikit berbeda dibanding sebelum-sebelumnya. Saya sering sekali merasa lapar. Dalam sehari saya bisa minimal 3 kali makan nasi, bahkan kadang-kadang sampai 4 kali. Dan diantara makan nasi itu, ada makanan perantara, biasanya roti, mie, atau buah-buahan. Belum lagi cemilan-cemilan ringan lainnya, kayak kerupuk, keripik, kacang, dsb.. Tapi masa sih bisa menaikkan berat badan secepat itu?? (masih belum nyadar juga :D)

Selama hamil, baik kesatu, kedua ataupun ketiga, saya tidak pernah memantang makanan apapun, kecuali rokok dan alkohol. (Halah.. emang yang dua itu mah gak pernah dikonsumsi meski gak hamil). Dan buruknya, saya juga tidak pernah peduli dengan asupan gula yang masuk ke dalam tubuh saya (berhubung saya selalu merasa kurus, meski pada dasarnya sih, saya tidak terlalu menyukai makanan yang TERLALU manis). Sampai-sampai saya lupa, kalau sebenarnya saya ada turunan diabetes dari bapak. Bapak saya sendiri bukanlah penderita diabetes, beliau hanya sebagai gen pembawa dari nenek saya. Nah, dikarenakan hal inilah, ditambah dengan keanehan yang tidak pernah terjadi dalam kehamilan sebelumnya (kenaikan berat badan tea), maka saya disarankan dokter untuk mengambil tes diabetes hari Jumat nanti. Duh, mudah-mudahan saja gendutnya saya ini memang karena nafsu makan yang tidak terkendali..

Berikut ada beberapa catatan mengenai Diabetes Kehamilan (Diabetes Mellitus Gestasional) yang saya ambil dari beberapa sumber:

Resiko ibu hamil terkena diabetes sebesar 3 - 5%.
Beberapa orang yang beresiko tinggi terkena diabetes:
1. Ada keturunan diabetes dalam keluarga
2. usia di atas 30 tahun
3. kenaikan berat badan yang tinggi
Dari ketiga golongan tersebut ditemukan sekitar 75% menderita diabetes destasional.

Resiko untuk anak yang akan lahir:
1. Lahir dalam keadaan cacat
2. Berat anak terlalu besar dengan resiko kematian tinggi selama kehamilan, ketika lahir dan setelah lahir.
3. Proses kelahiran yang sulit
4. Kelebihan berat badan sejak kecil, ketika usia sekolah dan seringnya terkena Diabetes mellitus.

*diterusin ntar deh.. dah dateng malesnya.. :D*



Thursday, March 26, 2009

Baby Utun: Praenatal Diagnostik

Praenatal Diagnostik merupakan pemeriksaan menyeluruh terhadap bayi sebelum lahir. Dalam pemeriksaan ini, kondisi bayi serta kelainan yang diidap oleh bayi bisa terdeteksi sejak dini. Alat yang digunakan Ultrasound 3D dan 4D. Nah, lo... dari dulu saya teh bingung, kok bisa sih 4 dimensi?? denger2 karena ada satu dimensi tambahan, dimensi suara, entah suara apa. Tapi di USG 2 dimensi juga, ada suara yang bisa kedengeran, suara detak jantung bayi. Setelah baca-baca.. ternyata, USG 4D itu dikenal juga sebagai USG 3D-Live. Dan memang selama kurang lebih setengah jam pemeriksaan.. saya seperti menonton film dari bayi di dalam perut saya. Tendangannya... isapan jempolnya... mulutnya yang komat-kamit.. gaya-gaya uletnya.. yang tanpa terasa, membuat air mata menetes perlahan-lahan.. terkesima dengan ciptaan-Nya di dalam perut ini.

Pemeriksaan ini dilakukan bukan di dokter kandungan saya yang biasa, tapi saya di rujuk ke dokter kandungan lain yang biasa melakukan pemeriksaan ini. Daaan.. ditanggung asuransi lho! Pernah ada teman yang ternyata asuransinya tidak mau membayarkan pemeriksaan ini, dan dia harus membayar sekitar 500 Euro. Makanya, ketika dokter saya bilang ditanggung asuransi, tanpa pikir panjang, saya langsung membuat janji dengan dokter yang satu ini.

Pemeriksaan ini dilakukan ketika kandungan berusia 20-22 minggu, berlangsung sekitar 1 sampai 2 jam. Karena itu, dianjurkan tidak membawa anak kecil. Dikhawatirkan mereka akan bosan dan rewel. Karena itulah, pas hamil Nadin, si Akang masih bisa ikutan nonton, tapi hamil Maryam dan yang ini, si Akang mesti jagain anak-anak di rumah.. :D Dan saya pun menikmati kebesaran Allah ini sendiri saja.. bertiga dink.. sama dokter dan asistennya.

Sebelum dilakukan pemeriksaan, saya harus membaca dulu surat yang berisi sekilas tentang pemeriksaan ini, meliputi apa saja. Dan di bagian paling bawah saya harus menandatangani pernyataan, bahwa secanggih-canggihnya alat yang digunakan untuk pemeriksaan tersebut, bukanlah jaminan bahwa si bayi akan lahir sama persis seperti hasil yang diperoleh hari itu. Kemudian saya diwawancara. Pertanyaannya banyaaaak banget. Semuanya seputar kelahiran bayi-bayi di keluarga kami, keluarga saya dan keluarga si Akang. Dimulai dari kelahiran kami sendiri, kelahiran anak-anak kami, kelahiran kakak dan adik kami, kelahiran anak-anaknya kakak dan adik kami, kelahiran orang tua kami, kelahiran adik dan kakak dari orang tua kami..halah.. lieur.. Mana saya dan si Akang termasuk keluarga besar.. kebayang donk kami mesti nyebutin satu demi satu.. capeee deh...

Kebetulan, dari kakak saya ada satu anak yang mengidap kelainan jantung. Ternyata hal ini juga dibawa-bawa ke kelahiran anak saya nanti. Dokternya bilang bahwa anak saya memiliki kemungkinan sebesar 4% mengidap kelainan jantung juga. Duh, ya Allah.. semoga saja tidak..

Pemeriksaan USGnya sendiri sangatlah mengasyikan buat saya.. ya itu..berasa nonton film anak sendiri. Baby Utun kerjaannya ngisep jempol terus, kalau nggak, tangannya disimpan di kening. Jadi menghalangi mukanya ketika akan difoto sama si dokter. Dokter berusaha merubah posisi tangan dengan mengetuk2 alat USGnya di perut saya. Duh.. perut rasanya seperti dikocok.. untung saya gak sampai kentut, Dok, hihihi..

Dari hasil hari ini, alhamdulillah kondisinya baik-baik saja. Jari tangan jari kaki semua lengkap. Anggota badan dari mulai kepala sampai ujung kaki juga lengkap. Organ dalam juga lengkap dan baik-baik saja. Ukuran pun normal. Berhubung ada kemungkinan kelainan jantung tadi, saya dianjurkan kembali lagi di usia kehamilan 28 - 30 minggu. Duh, yang ini dibayarin asuransi gak ya??

Oya, 3 kali saya periksa di sini, 3 dokter juga yang menangani saya. Yang pertama, suaminya. yang kedua istrinya. Berikutnya.. anaknya.. (kupikir..). Ternyata namanya beda, jadi kemungkinan besar bukan. Dokternya masih muda banget, mungkin seumuran saya atau si Akang. Jadi tampaknya masih baru. Mungkin dia belum tahu, atau memang baik.. karena kali ini saya diberinya foto yang 3 dimensi, meskipun hitam putih.. biasanya hanya dikasih gambar seperti di atas, kalau mau gambar yang ini (3D) harus bayar lagi.


Dilihat-lihat.. kayaknya Baby Utun 3 kali ini bakal mirip Mamiya nih.. hidungnya.. bibirnya.. dagunya.. mirip semua..  Tapi bapaknya masih gak mau mengakui.. gambarnya gak jelas, masih bisa berubah, katanya.. :D

Baby Utun: catatan 4 5

Kunjungan keempat, 2.2.2009, usia kandungan 16 minggu.
Kali ini kondisi makin membaik. Kista sudah tidak kelihatan lagi, pH kembali normal (4). Tes urin, tes darah (cuma dr jari doank) seperti biasa, berat badan nambah 1 kg. Baby Utun udh mulai bergerak-gerak, meski amat sangat jarang, tidak setiap hari.. dan kalaupun gerak, sehari hanya sekali saja. Anehnya, saya bisa ngerasain dia pertama kali bergerak di minggu ke-12. Tapi kata dokter, kalau sudah anak ketiga, memang ibu bisa lebih sensitif merasakan gerakan anaknya. Jadi tidak ada yg tidak mungkin. :D Dari pemeriksaan USG (kali ini mulai memakai USG biasa, yang di perut), kondisinya baik-baik saja.. anggota-anggota badan sudah lebih jelas kelihatan. Oya, hari ini juga dikasih surat rujukan buat periksa Praenatal Diagnostik.

Kondisi ibu sudah normal kembali. Ukuran perut semakin membesar, gatal-gatal mulai terasa. Makanya sudah mulai diminyakin deh perut. Dulu, pas hamil pertama, saya dikasih sampel minyak hamil sama dokter, belinya di apotek, harganya lumayan.. kalau gak salah 100 apa 200 mL gitu sekitar 12 Euro. Pas hamil Maryam, saya pake Oliven oil aja, alias minyak Zaitun, soalnya.. rasanya bau dan warna hampir sama. Dan ternyata.. dengan minyak zaitun.. gatal2 pun bisa teratasi. Lumayan menghemat, 6 Euro, bisa dapet 1/2 literan. Udah gitu, kalau masih sisa, bisa dipake masak pula.. :D Sekarang juga begitu, pake minyak zaitun aja..

Kunjungan kelima, 2.3.2009, usia kandungan 20 minggu.
Ada beberapa keluhan sebenarnya di pemeriksaan kali ini. Saya rasanya kurang merasakan gerakan bayi. Khawatir dia kenapa-napa. Soalnya udah memasuki minggu ke-20, seharusnya lebih terasa dibanding sebelumnya. Ini malah rasanya sama sekali nggak ada. Rada khawatir, soalnya rasa-rasanya beberapa hari terakhir sebelum saya ke dokter, saya selalu merasa kurang makan. Rasanya perut kok lapar terus. Tapi mata juga ngantuk terus. Nah. kalau lapar dan ngantuk ketemu, yang menang pastilah ngantuk.. :D

Kali ini di lab cuma diperiksa urin dan tekanan darah aja. Dan yang mengejutkan, ternyata berat badan saya malah nambah 2 kg, hahaha.. Padahal khawatir kurang makan gitu lho.. Aneh juga.. perasaan sering banget kelaparan, tapi berat badan malah naiknya dobel. Dokter puas juga sih liat kenaikan berat ini, dia bilang, Anda kan kurus.. jadi naik lebih dari ini juga gak apa-apa..:D

Kekhawatiran saya yang lain juga ditepis oleh dokter. Dengan USG, dia malah melihat Baby Utun gerakannya aktif sekali, sampai-sampai si dokter kewalahan mau ngukur2 dan sebagainya.. Alhamdulillah.. Dan yang paling mengejutkan, kali ini dokter melihat jenis kelamin si Baby.. ini sih laki-laki... Tapi Anda pastikan lagi nanti pada pemeriksaan di dr. Tschuerz yah.. Kali ini dikasih foto tampak depan.. mirip Power Ranger, hihihi..
 
Di akhir pemeriksaan, saya ke lab lagi, soalnya harus ambil darah lagi untuk pemeriksaan Toxoplasma. Sebenarnya sih harusnya ini dilakukan di awal, waktu saya diambil darah sebanyak-banyaknya itu. Tapi waktu itu saya memutuskan untuk tidak melakukan pemeriksaan ini. Soalnya udh pernah dan hasilnya negatif. Udah gitu, saya juga gak pernah makan daging mentah.. bahkan sayur mentah juga jarang.. Meski sebenarnya sih alasan utama, males bayarnya.. :D Tapi, ternyata si dokter benar-benar menyarankan untuk melakukan pemeriksaan ini. Yah.. akhirnya.. masuk lab lagi deeeh..


Baby Utun: catatan 1 2 3

Kunjungan pertama, 21.11.2008, usia kandungan 5 minggu + 2 hari.
Kali ini saya menyadari lebih awal dari sebelum-sebelumnya (usia 12 minggu dan 10 minggu). Setelah memeriksa sendiri di rumah, saya langsung membuat janji dengan dokter, masih dokter yang lama. Soalnya saya sudah cocok dengan beliau, lagipula pemeriksaan Ultraschall (Ultrasound) tidak dikenai biaya tambahan. Pada pemeriksaan pertama ini, tidak ada tes urin/tes darah. Saya langsung berbincang dengan sang Dokter, dan beliau langsung memastikan kehamilan dengan Ultraschall. Hasilnya?? Kondisi rahim memperlihatkan tanda-tanda kehamilan, namun embrio tidak terlihat. Hal ini bisa jadi karena usia kandungan yang terlalu muda. Makanya saya harus balik lagi 2 minggu kemudian. Katanya memang, embrio mulai terlihat ketika kandungan berusia 8 minggu.

Di minggu-minggu ini, saya belum mengalami gejala apapun (mual, muntah, dsb), nafsu makan pun tidak berubah.

Kunjungan kedua, 5.12.2008, usia kandungan 6 minggu + 6 hari.
Kunjungan kali ini mulai seperti kunjungan biasanya. Timbang berat badan, tes urin, tekanan darah, tes darah (darah yang diambil buanyak banget, 2 botol!, kira2 per botolnya 10 mL), terakhir.. tentu saja berbincang-bincang dengan dokter. pH 5,3, lumayan tinggi (normalnya 4), makanya dikasih obat (Gynoflor). Pemeriksaan Ultraschall menunjukkan embrio sudah terlihat, Alhamdulillah, masih seperti bola, bagian2 tubuhnya belum terbentuk. Tapi, ternyata dokter menemukan adanya Kista di bagian kiri. Karena pada pemeriksaan sebelumnya dokter tidak melihat keberadaan Kista ini, maka dipastikan bahwa ini merupakan kista yang timbul karena kehamilan. Nanti juga hilang sendiri, katanya. Karena ukurannya kecil dan saya juga tidak mengeluh sakit karena Kista ini, maka dokter pun tidak terlalu mengkhawatirkan kondisi ini.

Di minggu-minggu ini mulai terasa gejala-gejala aneh dan tidak enak. Satu hal yang patut saya syukuri, dalam ketiga kehamilan saya, saya tidak separah kondisi orang lain. Mual hanya sedikit. Muntah tidak pernah. Pusing dan males sih iya... pengennya tiduraaaan aja... sayangnya gak bisa.. digangguin terus... Mulai susah masak.. ternyata setelah dipikir-pikir hanya beberapa jenis masakan aja yang saya tidak bisa memakannya, seperti bawang bombay, bawang putih, daun bawang, buncis, indomie, sosis. Yang lain2nya, meski masak sendiri masih bisa makan, asal jangan ada unsur tumis2an.. Jadinya masak pake metide cemplang-cemplung. :D Mulai ketagihan sama makanan2 yang biasanya jarang2 saya makan, seperti pete, ikan asin, cabe rawit (jadi hobi makanan serba pedas), tempe.. haduh.. Indonesia sekali sih ini.. lumayan menguras isi dompet.. :D

Kunjungan ketiga, 2.1.2009, usia kandungan 11 minggu + 1 hari.
Kali ini cuma pemeriksaan urin dan tekanan darah aja. Berat badan naik 1 kg dari bulan sebelumnya. Berikutnya pemeriksaan dengan dokter. pH 5,0, masih tergolong tinggi, dokternya heran karena di kehamilan sebelumnya saya tidak mengalami hal ini di awal2 kehamilan. "Anda sakit? stress?" tanyanya.. rasanya sih nggak, Dok.. hanya.. saya lupa melulu pake obatnya, hehehe.. Dari 6 biji yang dokter kasih, saya cuma makan 3. Yah, akhirnya dikasih obat yang sama.. Mudah2an bulan depan kondisinya membaik, katanya.. kalau kondisi masih sama, dikhawatirkan terjadi infeksi. Saat ini sih masih baik-baik saja. Kista masih ada, ukurannya sedikit membesar dari bulan sebelumnya. Tapi karena saya tidak ada keluhan sakit, maka dokter pun tidak khawatir. Gimana kabar Baby Utun?? Ternyata kali ini dia sudah mulai membentuk.. kepalanya sudah kelihatan, begitupun tangan dan kaki. Cepat juga.. :D Dan kali ini saya tidak lupa minta fotonya :D

Gejala2 aneh di awal kehamilan mulai membaik.. mulai kembali normal. Masalah makanan juga mulai bisa ditanggulangi, karena saya sudah tau triknya.. ;)

Friday, March 20, 2009

Baby Utun: buka kartu

Tadinya hal ini akan dirahasiakan, sampai orang-orang di sekitar kami menyadari dengan sendirinya. Bukan karena malu.. toh jelas-jelas bapaknya yang mana.. :D, bukan pula karena merasa biasa karena sudah anak ketiga (kehamilan pertama, kedua dan ketiga buat saya sama luar biasanya). Tapi karena pengen buat 'kejutan' aja ke semua orang, tau-tau udah melahirkan aja.. :D

Ternyata, Allah berkehendak lain. Menginjak usia kandungan sekitar 18 minggu, di saat body masih belum kentara seperti ibu hamil, tiba-tiba saja foto USG baby Utun jatuh di pengajian, dan ditemukan oleh seorang ibu. Yah.. tentu saja, setelah satu orang tahu, berita gembira ini langsung merembet hampir ke semua orang.

Sebenarnya, sebelumnya pun tidak berarti tidak ada yang tahu. Tetangga saya yang paling dekat, pastinya tau, karena saya beritahu. Biasalah.. perempuan.. selalu butuh seseorang yang bisa mengerti kondisinya. Guru ngaji saya juga tahu, karena menebak-nebak, gara-gara melihat Maryam yang tiba-tiba sakit-sakitan selama berminggu-minggu. Dan yang paling mengejutkan, yang tahu adalah seorang teman yang jauuuuuh di sebrang sana. Tiba-tiba saja beliau mengirim pesan yang memberitahukan bahwa dia bermimpi saya melahirkan seorang bayi laki-laki.

Dan setelah itu, banyak yang bertanya-tanya juga.. Gara-gara, secara kebetulan, postingan saya di MP rada2 nyerempet ke sana. Padahal semua itu tidak disengaja. Dari lubuk hati yang paling dalam, mohon maaf kalau saya tidak mengatakan yang sejujurnya waktu itu. Tapi saya juga tidak bohong kan?! saya tidak menjawab 'iya'.. tapi juga tidak menjawab 'tidak'. Moga-moga aja gak ada yang sakit hati. *wink*

Saturday, March 14, 2009

Serasa jadi tahanan kota..

Mulai bulan April nanti, si Akang dan teman-temannya di kantor terkena Kurzarbeit alias pemotongan jam kerja. Tentu saja hal ini berimbas ke pemotongan gaji. Alhamdulillah, kami masih dapat bantuan tunjangan dari Arbeitsamt (sekarang namanya jadi Arbeitsagentur). Meski gaji gak full lagi, tapi dipotongnya juga jadi gak gede-gede amat..

Pemotongan jam kerja ini merupakan solusi lanjutan dari pemecatan karyawan beberapa waktu lalu, dalam rangka menghadapi resesi ekonomi belakangan ini. Tampaknya cukup adil juga sih, selain orang-orang masih punya pekerjaan, negara juga tidak terlalu terbebani untuk mengeluarkan tunjangan pengangguran (Arbeitlosgeld).

Berkurangnya jam kerja ini mengakibatkan bertambahnya jatah libur si Akang. Jadinya dalam 6 bulan ini dia harus mengambil libur 24 hari kerja. Bayangkan, biasanya dalam setahun dia hanya dibolehkan mengambil libur 30 hari kerja saja. Saya langsung berpikiran... LIBURAN!!! keliling Eropa aja.. atau pulang ke Indonesia, hihihi... *kayak yang punya duit aja nih gayanya*. Tapi.. EITSSS... tunggu dulu.. TERNYATA, berhubung kami dapat tunjangan dari Arbeitsagentur tadi, kami ternyata tidak boleh bepergian lebih dr 500 km dari kota tempat kami tinggal. Kenapa??? Ternyata meskipun si Akang di rumah, tapi pada hari-hari kerja, dia dianggap seperti orang bekerja, yang artinya dia harus tinggal dalam jarak tadi. *gubraks deh*

Akhirnya.. yaaa... liburan Oster nanti, kami mungkin hanya akan keliling-keliling Muenchen dsk aja, nganterin anak-anak lari-lari... nganteri si Akang hunting bunga kali... nganterin saya belanja-belanji... dll... dll.. Hm... meski kami jarang pergi kemana-mana, tapi kalau diharuskan begini, serasa jadi tahanan kota nih.. :D

Jadi inget postingan saya tentang orang yang kehilangan pekerjaan di sini, masih inget?? Ternyata.. jangankan orang yang kehilangan pekerjaan dan dapat tunjangan sekitar 60% gaji bersih, si Akang aja yang dapat tunjangan sedikit persen, udah dikasih batasan-batasan tertentu yang bikin kami seperti tahanan di kota sendiri begini. Jadi, jangan pernah berpikir ada orang-orang yang bisa memanfaatkan untuk mendapatkan Arbeitlosgeld tiap bulannya, sedangkan dia sendiri bekerja di negara lain. Menurut saya, ini adalah suatu hal yang TIDAK mungkin.

Thursday, March 5, 2009

Halal-Haram: Die HARIBO Info-Seite

http://www.haribo.de/planet/de/info/frameset_verbraucherinfo.php
Lagi-lagi Haribo..
Selama ini saya memang tidak pernah memandang produk ini, meski dengan sebelah mata.. soalnya tau dari teman-teman kalau produk ini menggunakan Schweinegelatine alias gelatin babi. Ternyata.. beberapa waktu lalu, setelah saya ngubek-ngubek dengan asyiknya muslimmarkt.de, saya baru tahu kalau Haribo memiliki produk-produk untuk Vegetarian dan Muslim... tentu saja produk ini yang diproduksi di Jerman.

Mulai hari itu, setiap kali melewati rak haribo, saya mulai berhenti di situ, melihat-lihat produknya... dan ingin mencoba membeli.. hehehe.. (katanya gak tertarik?!). Sayangnya, saya selalu lupa membawa list yang sudah saya posting sendiri di MP saya ini, hahaha... Akhirnya gak pernah jadi membeli..

Dan pagi ini, dengan penuh penasaran saya mengunjungi website HARIBO langsung. Kenapa? Karena setelah saya mengunjungi toko halal, ternyata mereka menjual haribo halal yang tidak ada di list kemarin.. dan ini juga bukan produk dr Turki. Dan ternyata, di website mereka tertera lebih banyak produk dibandingkan list yang kemaren.. Sayangnya yang Goldbaeren tidak termasuk, hiks... yang di toko halal itu ternyata Goldbaeren yang dari Turki. Oya, di website itu juga dijelasin, bahwa produk-produk mereka untuk negara-negara muslim, bebas dari gelatin babi.. gelatin sapi???? gak tau... :D

Berikut daftar Haribo (terbaru) yang boleh dikonsumsi muslim dan Vegetarian:
Vegetarier Stueckartikel:
Bonner Gold
Crazy Schnuller
Happy-Cola-XXL
Extra-Saure-Saurier
Halbmonde
Kirsch Cola
Kiss Cola
Mundöffner
Pasta Frutta
Riesen Erdbeeren
Lakritz Schnecken
Salino
Salmiakstangen
Salz Gurken
Saure Gurken
Schlümpfe
Schwarzgeld
Seesterne
Super Schlumpf
Veilchen-Pastillen
Viola

Vegetarier Beutelartikel:
Bärenpranken
Crazy Schnuller
Goliath-Lakritzstangen
Jelly Beans
Katinchen
Kinder-Gaudi
Pasta Frutta
Lakritz Schnecken
Piratos
Salino
Sour Snup

Tuesday, March 3, 2009

Bahasa Indonesia.

Ada artikel menarik nih. Penulis adalah salah satu motivator saya untuk mengajarkan bahasa ibu yang baik dan benar kepada anak-anak saya. Beruntunglah aku mengenalmu dari dekat, Mbak.. ;)


PS: artikel pernah di terbitkan di Jakarta Post. Saya copy-paste di sini atas seizin penulis.
*****************************

Is our language an endangered species?

Santi Dharmaputra ,  Munich, Germany   |  Tue, 10/28/2008 10:24 AM  |  Opinion

I speak to my children in the Indonesian language, while my husband, a French, speaks with them only in French. Our family has been living in three different countries, socializing with Indonesian and French communities alike.

Encountering these two groups in Indonesia, France and other countries of residence, I have noticed different reactions between the French and the Indonesians when hearing us and our children converse in our native languages.

The French, whether they are relatives or friends, treat our children's ability to speak French as natural. They consider it very normal for French children to speak French, even though they have an Indonesian mom and have never lived in France.

In contrast, whenever we mingle with the Indonesian community, abroad or in Indonesia, they are surprised to hear my children and I interact in Indonesian. Listening to my eldest son speak the language causes them to react as if he was speaking an unnatural tongue. It turns out that, for different reasons, many Indonesian parents I meet overseas raise their children in foreign languages.

One group claims it is difficult for themselves to speak it within a foreign environment. Yet another group will say they lost the ability to speak it because they have stayed abroad so long. The latter consists of those who deem it very normal to raise their children in the language environment they live in. For these reasons, the result is the same. The children do not speak their language.

It is puzzling to see many Indonesians abroad and/or married to foreigners consider it tough to raise children in their own tongue, as our country is actually multilingual. Plenty of us are brought up in at least one vernacular language at home along with the Indonesian language at school with good proficiency in each.

However, once living outside the country, many Indonesians seem to become oblivious to this phenomenon. Raising children in more than one language becomes a big issue, and therefore they reject the mother tongue for other languages. It is also strange to hear them use their declining fluency in their mother tongue as a reason to not speak it to their children.

A great number of Indonesians I meet began to live abroad during their university years or after their marriage. That means they have spent at least 18 years of their lives, if not more, in Indonesia. This means they should still be able to speak it with their own children.

It is conceivable, though, that it does take some effort to continue speaking Indonesian in another language environment. Yet if the French, the Chinese or the Turks manage to pass their native languages onto the next generation, why are we not able to do so?

All of this matters because language contains one's identity. Even if someone is brought up overseas or has a foreign father or mother, he/she is still Indonesian by blood. Research shows that immigrant college students, who possess sufficient knowledge of their parents' languages, feel more comfortable about their self-identity. They belong to two or more cultures, and to speak the language is one way to develop a sense of ownership of each.

Since the mother tongue is so important, why would many Indonesians choose to raise their children in foreign languages? In one of his essays, Ajip Rosidi notes that, "The inferior feeling for the Indonesian language and the assumption that being able to chatter in a foreign language will raise admiration among the listeners, are shown daily on TV ..., particularly by the anchors and journalists. It seems that if the speaker does not insert English sentences or words ..., the speaker is worried that (people) will assume he/she is not intelligent ...."

Although acquiring a foreign language is a necessity, our language should not become an orphan in its own country. If our people think of their language as described by Ajip Rosidi, once they live abroad or have a foreign spouse they will always have a good reason to raise their children in other languages. Moreover, my fellow citizens often see their own language as "simple" and "unimportant on the language map", which are illusions.

The global position of a language connects to the nation's politics and socio-economics. Being spoken by fewer people than, for instance, Mandarin, does not make our language insignificant. It is, after all, the language that unifies our country. For some of us it is also the language of love since our parents used it when raising us.

Furthermore, having different grammar from English or Japanese does not categorize our language as simple. In reality it is complicated, as one should acquire both the colloquial and the high varieties to function in every situation.

I believe that our people's reluctance to bring up their offspring in Indonesian is because of our chronic feeling of inferiority, intermingled with a misconception of our own language. Our appreciation for our language within the country is already low, and once living abroad or married to foreigners, we then have every reason to stop passing this mother tongue onto our children. The question is, with this attitude and mentality, how long will our people continue to use the Indonesian language?

The writer raises two quadralingual children and currently resides in Germany. Her research is on multilingualism, multiculturalism and cross-culture-kids. She blogs at http://trilingual.livejournal.com.

Sunday, March 1, 2009

1 Maret 2009

So, apa yang penting-penting di hari ini??

1. Hari ini tepat dua tahun kami tinggal di rumah ini. Artinya?? kontrak minimal yang harus kami jalankan di rumah ini sudah selesai. Kini kami sudah boleh pindah ke rumah lain, kalau mau, dengan catatan melapor ke yang punya rumah 3 bulan sebelumnya. Tapi untuk sementara ini sih.. malesss banget pindah rumah.. :D

2. Nah, 2 tahun yang lalu.. saya mendapat serangan.. serangan kontraksi yang tiba-tiba datangnya.. dan cepat pula hilangnya.. sampai si anak lucu ini lahir.. Hari ini adalah hari besar buatnya.. bukan karena akan tiup lilin.. atau makan kue enak.. apalagi hadiah yang heboh. Tapi hari ini.. dia harus mulai melepas sesuatu dari hidupnya.. sebagai tanda dia sudah menjadi seorang anak kecil yang sempurna.. Sempurna apanya?? sempurna penyusuannya.. :D

"Maryam.. hari ini Maryam udh 2 tahun.. udh gak nenen lagi ya.."
"Nenen utun ya?!" maksudnya mah Nenennya buat Utun ya?!
"iya.."
Maryam senyum...
Kalau siang gini, memang dia sudah mengerti sejak dua minggu lalu. Tapi kalau malam.. dia masih butuh obat gelisah untuk menemaninya tidur. Yah.. kita liat aja lagi ntar malam.. :D Saya sendiri kok gak tega ya buat menyapih anak ini.. hehhe..

3. Hari ini untuk pertama kalinya saya menemukan belatung dalam beras.. huaaaa.... gatel... Baru kemaren temen cerita kalau dia beli beras yang ada belatungnya.. Makanya saya periksa bener2 sebelum dimasak.. ternyata nemu juga meski sedikit.. Iiih.. siap2 dibalikin besok ah..

Hari ini cerah banget.. sama kayak kemaren.. jalan-jalan kemana ya?? Kayaknya Fasching minggu lalu berhasil nih.. hahaha.. kok jadi percaya begituan sih??!

Terperangkap dalam U-Bahn

Ket: U-Bahn = kereta bawah tanah

Di cuaca yang sangat hangat kemarin, kami benar-benar memanfaatkan hari itu untuk bermain di luar. Kebetulan si Akang mau ke rumahnya Mas Agung di Olympiazentrum, langsung aja saya pingin ikut.. Selain bisa ketemu Elyta, yang baru lulus dan masih hamil besar (fyi, anak-anak suka banget lihat wanita hamil.. :D), kami juga bisa bermain di taman belakang rumah mereka (Spielplatz maksudnya mah..). Dan sepulangnya dari sana, kami bisa langsung menyantap bakwan malang di Stammtischnya Swadaya, hehehe... Hari yang indah...

Setelah puas bermain-main, kami pun pulang. Naik U-Bahn yang jam 3 menuju kota. Perjalanan boleh dibilang lancar, bahkan sama sekali tidak terasa.. karena saya menghabiskan waktu sambil ngobrol di U-Bahn. Tiba-tiba kami baru sadar kalau U-Bahn berhenti di tengah-tengah. Iya, di lorong jalannya U-Bahn yang gelap gulita.. bukan di stasiun. Entah sudah berapa lama kami di situ. Saya pun mulai mengingat-ingat stasiun terakhir yang telah kami singgahi tadi. Kalau tidak salah sih Odeonplatz.. berarti berikutnya adalah Marienplatz, stasiun dimana kami harus turun.

Tiba-tiba terdengar pengumuman dari masinisnya, bahwa kereta bagian depan rusak, sehingga kereta tidak bisa bergerak. "Oooo.." terdengar keluhan panjang dari para penumpang.. termasuk saya.. :D Kebetulan saat itu kereta memang penuh... untungnya tidak sepenuh seperti jam-jam sibuk, dimana U-Bahn biasanya berdesak-desakan kayak bis kota di Bandung. Tidak sampai ada penumpang berdiri, tapi semua kursi terduduki. Jadinya kami masih bisa bernapas lega.

Menit demi menit berlalu, masinis terus mengumumkan bahwa kereta masih belum bisa jalan, dan berterima kasih untuk kesabaran kami. Penumpang mulai gelisah.. mungkin ada yang punya janji.. mungkin ada yang sudah tidak sabar... mungkin ada yang takut dan khawatir kami akan ada di sana seharian.. Untungnya anak-anak tidur, jadi mereka tidak bosan dengan kondisi yang ada. Saya dan si Akang sendiri mulai berpikir, kalau-kalau ternyata kami harus keluar dari situ.. hm.. berarti Kinderwagen mesti ditinggalin nih.. Akang mangku Nadin, aku mangku Maryam ya... pikirku.

Kemudian terdengar lagi masinis mengumumkan bahwa mesin kereta paling depan benar-benar rusak dan tidak bisa jalan lagi, dan kami semua harus turun di stasiun berikutnya, di Marienplatz, tak lupa dia meminta maaf dan berterima kasih. Tapi kami sedikit lega sih mendengarnya, setidaknya ada harapan kami bisa keluar di tempat yang aman. Ternyata mengumumkan hal ini saja entah sampai berapa kali, sampai kami bosen dengernya... tapi kereta tak kunjung maju. Tiba-tiba.. krekkk.. kereta mundur.. berhenti lagi.. Terdengar suara-suara napas tertahan. Dan ternyata kami masih harus menunggu. Masinis mengumumkan lagi, kalau ternyata si kereta masih belum bisa bergerak.. *wadduh*

Kami menunggu... menunggu... dan menunggu...
Kereta mulai bergerak maju.. perlahan-lahan sekali... Penumpang pada beryel-yel ria, "schieben! schieben! schieben!". Dan... ya.. ya... akhirnya kami melihat dunia terang kembali.. kini terdengar desah napas lega dari semua penumpang.. dan kami pun keluar dengan perasaan gembira luar biasa....

Ternyata, perjalanan yang seharusnya kami tempuh 12 menit saja, kemarin menjadi sekitar 40 menit. Cuma setengah jam aja kami terperangkap di dalam sana.. tapi rasanya luammmaaaaa sekaliiiii... Ada yang terperangkap juga di sana kemarin??? :D Akhirnya rencana berubah, karena kami udah kecapean, kami langsung pulang ke rumah... lupa kalau kami sudah berencana makan bakwan malang.. hiiiikkkkssss...