Tuesday, May 26, 2009

Baby Utun: Catatan 8 --> sakit dikala hamil

Hari Jumat pekan lalu kembali saya kontrol ke dokter. Tapi kali ini benar-benar ketiban sial yang bertubi-tubi. Mungkin karena hari Kamisnya libur, maka di hari Jumat tersebut, para perawatnya pada ngambil cuti. Akhirnya yang masuk cuma satu orang. Biasanya ada dua, bahkan tiga orang. Jadi si satu orang perawat ini berperan sebagai resepsionis, petugas di laboratorium.. bahkan menerima telepon yang masuk. Akibatnya dia menjadi sangat hektik.. terburu-buru.. dan cenderung melakukan banyak kesalahan.

Ketika mengambil darah dari jari, dia menyemprot jari manis saya. Dan saya pun langsung berpaling.. karena gak kuat melihat jari sendiri ditusuk jarum. Dan.. OOUCHHH.. sayapun menjerit, karena ternyata dia malah menusuk jari tengah saya. Dia pun meminta maaf. Kedua pemeriksaan CTG yang harusnya berlangsung sekitar 15 sampai 20 menit, ini hampir 40 menit. Saya sampai berpikir.. jangan-jangan si ibu lupa punya pasien di kamar ini.. :D Setelah ini, saya masih harus menunggu ke ruang dokter. Maryam sampai bosen bermain.. biasanya sebelum dia bosen, kami sudah dipanggil duluan. Belum lagi ketika saya meminta kopi surat dr dr. R, dia salah mengkopi juga. Total, hampir dua jam kami terperangkap di tempat dokter.

Monday, May 25, 2009

Imunisasi

Minggu lalu kami bertiga pergi ke dokter anak untuk melakukan imunisasi. Maryam mendapatkan vaksin hepatitis A + B yang terakhir (ketiga), dan Nadin mendapatkan vaksin Meningokokken. Alhamdulillah anak-anak tidak menangis, mereka malah senang dan bahagia mendapat hadiah kecil dari dokternya (stempel dan tato) :D

Bagaimana  anak-anak bisa mendapatkan vaksin hepatitis A dan B sekaligus? padahal hepatitis B merupakan salahsatu vaksin yang ditanggung asuransi. Ini semua berkat anjuran dari dokter anaknya sejak vaksin pertama dulu.

Di Jerman, vaksin pertama diperoleh ketika bayi berusia dua bulan. Vaksin ini merupakan vaksin simultan, gabungan dari beberapa macam vaksin. Ada dua macam yang ditawarkan oleh dokter anak. Ada yang di sebut 6 Fach Impfung, terdiri dari Tetanus, Diphtherie, Pertussis, Haemophilus influenza b (Hib), Hepatitis B dan Poliomyelitis. Dan ada yang disebut 5 Fach Impfung, yang terdiri dari vaksin-vaksin di atas, kecuali Hepatitis B. Saya sendiri waktu itu bingung, akhirnya saya konsultasikan langsung dengan dokternya, lebih baik ambil yang mana. Menurut dokter anak tersebut, karena kami berasal dari Indonesia, dimana anak-anak kami membutuhkan vaksin Hepatitis A (yang harus bayar sendiri), maka sebaiknya saya mengambil yang 5 Fach Impfung, biar lebih murah. Waktu itu saya pikir, harga vaksin hepatitis A+B lebih murah dibandingkan dengan vaksin hepatitis A saja. Ternyata, setelah berdiskusi dengan seorang teman yang mengambil 6 Fach Impfung dulunya, lebih murahnya bukan dari harga vaksinnya. Harga vaksin justru lebih mahal sedikit, tapi hepatitis A+B tidak perlu lagi membayar ongkos suntik ke dokternya.

Vaksin jenis pertama ini dilakukan sebanyak tiga kali, dengan jarak minimal masing-masing 4 minggu (usia 2, 3 dan 4 bulan). Tahun 2007, ketika Maryam lahir, ada vaksin baru, Pneumokokken dan Meningokokken. Jadi, ketika paha kanan disuntik 5 Fach Impfung, paha kiri disuntik Pneumokokken. Jadi, pada 3 vaksin pertama, si anak mendapat dua suntikan sekaligus.

Vaksin berikutnya di bulan ke-13, yaitu MMR, dilakukan sebanyak dua kali dengan jarak minimal 4 minggu. Dan 4 minggu kemudian dilakukan pengulangan 5 Fach Impfung + Pneumokokken.

Setelah semua vaksinasi wajib selesai, barulah vaksin Hepatitis A bisa diberikan ke anak. Vaksin ini memang baru bisa diberikan setelah anak menginjak usia 1 tahun. Dilihat dari riwayat Nadin dan Maryam, ternyata vaksin ini diberikan 2 kali dalam jarak 1 bulan, yang ketiganya diberikan 6 bulan setelah vaksin kedua. Vaksin ini juga merupakan beban sendiri alias tidak termasuk yang ditanggung asuransi. Dan beruntungnya saya, karena awalnya saya mengambil 5 Fach Impfung, maka vaksin kali ini gabungan antara hepatitis A dan B, jadinya biaya suntiknya ditanggung asuransi :D

Imunisasi berikutnya untuk Nadin tahun 2011 (Diphtherie-Tetanus-Pertussis-Hib) dan 2016 (Poliomyelitis). Sedangkan untuk Maryam, tahun 2013 (Diphtherie-Tetanus-Pertussis) dan 2018 (Poliomyelitis).

Sebenarnya Nadin mendapatkan vaksinasi lain selain yang diatas, yaitu Zeckenimpfung. Dia memperoleh vaksinasi ini di tahun kedua usianya, berselingan dengan vaksin Hepatitis A + B. Anehnya Maryam tidak disarankan mendapatkan vaksin ini. Ternyata, saya baru tahu dr Mpok Aas dan Mbak Echa, bahwa memang perkembangan Zecke ini bisa berbeda setiap tahunnya. Seperti tahun ini misalnya, menurut dokter anak saya, Munich tidak termasuk daerah rawan Zecke. Makanya, kalau kami hanya akan tinggal di Munich dan sekitarnya selama musim panas ini, Maryam tidak memerlukan Zeckenimpfung. Tapi kalau kami berencana wanderung ke Bodensee atau Schwarzwald (misalnya), maka kami sangat disarankan untuk mengambil vaksin tersebut.

Thursday, May 21, 2009

berapa.. berapa tahun??

Semenjak Nadin masuk TK, dia mulai mengenal yang namanya ulang tahun. Sebelumnya?? tidak.. :D Sampai saat ini, sudah dua kali dia merayakan ulang tahunnya di Kindergarten.. ini juga karena wajib, bukan semata-mata keinginan kami. Sejak ini pulalah, dia mulai mengenal lebih dekat kata tanya 'berapa'. Karena berhubungan dengan umur, tentu saja pertanyaannya menjadi 'berapa tahun?'. Dia mulai menanyakan umur-umur anggota keluarga di rumah.

Nadin: "Kalau Nadin 4 tahun, kalau Maryam berapa tahun, Mama?"
Mama: "2"
Nadin: "Oo.. kalau Mama?"
Mama: "28"
Nadin: "O.. 28.. kalau Papa berapa tahun?"
Mama: "30"
Nadin: "Oooo.. kalau Papa ulang tahun, lilinnya banyak sekali ya?!"

hihihi.. maklum, kalau ulang tahun di Kindergarten, lilinnya bukan lilin angka, tapi lilin satuan yang jumlahnya disesuaikan dengan umur.

Gara-gara suka nanyain umur, segala pertanyaan 'berapa' selalu menjadi 'berapa tahun'. Misal saat naik kendaraan umum (bus, tram, U-Bahn ataupun S-Bahn), yang dia tanya pasti, "Mama, berapa tahun naik busnya?" maksudnya sih berapa halte... atau "Mama, berapa tahun bebeknya?" maksudnya sih berapa biji.. dan berapa-berapa yang lain.. Aneh juga sih, padahal dia sudah mengenal berhitung jauh sebelum mengenal ulang tahun. Jadi seharusnya sudah mengenal kata 'berapa' lebih dulu daripada 'berapa tahun'. Tapi mungkin yang paling berkesan untuknya memang kata 'berapa tahun' itu, makanya paling nempel di kepala.

Sekarang Nadin udah mulai mengerti. Pertanyaan 'berapa tahun'nya tidak sesering beberapa bulan yang lalu. Tapi juga belum tepat untuk setiap pernyataan. Kalau dia bingung, biasanya pertanyaannya menjadi 'berapa' atau 'ada berapa'.

Kalau Maryam lain lagi, kata tanya berapa-nya jadi 'siji apa?'. Awalnya sih bingung.. ini kata maksudnya apa? ternyata ini adalah pertanyaan 'berapa'. Entahlah berasal dari kata apa.. 'sabaraha hiji?' atau 'berapa biji?'.. ah.. kayaknya dua2nya juga kebalik.. :D

Thursday, May 14, 2009

Belajar memilah sampah

Membuang sampah di sini bukanlah hal yang sederhana dan mudah. Tidak seperti di rumah dulu, dimana saya hanya mempunyai satu tempat sampah, semua jenisnya masuk ke situ, dan langsung dibuang dengan kantongnya ketika sudah penuh. Di sini, sampah harus dibuang berdasarkan jenisnya. Ternyata pengelompokan sampah ini pun bisa beda antara satu Gemeinde dengan Gemeinde yang lain. Bahkan antara rumah yang satu dengan rumah yang lain (kadang ada rumah yang tidak menyediakan tempat sampah bio, jadinya sampah bio dan sampah sisa dicampur begitu saja). Makanya ketika sedang di rumah orang, saya pun masih harus bertanya sampah ini dibuangnya kemana.

Dari pengalaman tinggal di dua daerah dan hasil berbagi pengalaman dengan teman-teman yang kebetulan tinggal di lain Gemeinde, ternyata penyortiran sampah di Munich termasuk yang paling lengkap (baca: rumit), meski pada dasarnya hampir sama saja. Di sini biasanya masing-masing rumah (beberapa rumah) memiliki tempat sampah bio, kertas dan Restmuell (sampah sisa). Sedangkan pembuangan sampah gelas (dipisahkan lagi menjadi gelas putih, hijau dan coklat) dan sampah yang bisa didaur ulang (biasa di sebut Gelbetone, yang mana dipisahkan lagi atas sampah plastik dan kaleng/logam) biasanya ada di masing-masing RW. Kebetulan di lingkungan rumah saya, selain tempat sampah tadi, ada juga tempat pembuangan sampah baju dan sepatu. Dan untuk pembuangan benda-benda besar, misalnya peralatan rumah tangga, ada dalam lingkup yang lebih besar lagi, katakanlah kecamatan.

Untuk memudahkan membuang sampah, saya memilih telah menyortir sampah-sampah tersebut sejak di rumah, daripada saya harus menyortir nanti saat membuang sampah. Makanya di rumah ada banyak sekali tempat sampah. Awalnya saya tidak membiarkan anak-anak membuang sampah sendiri. Jadi saya biarkan mereka mengumpulkan sampah bekas makanannya di meja, nanti saya yang membuangnya ke tempat sampah.

Sejak beberapa bulan yang lalu, saya mulai berpikir, bahwa mereka sebaiknya diajarkan sejak dini. Anak-anak mulai saya minta untuk membuang sampah mereka sendiri ke tempat sampah di dapur. Untuk memudahkan mereka, masing-masing tempat sampah saya labeli dengan warna yang berbeda. Dan ternyata kegiatan menyortir sampah ini menjadi kegiatan yang mengasyikan untuk mereka. Nadin, yang sudah berumur 4 tahun, bisa mengerti dengan cepat. Meski tiap mau buang sampah, dia bertanya dulu, ini sampah plastik atau kertas? bersih atau kotor? yang biru atau yang merah? padahal sebenarnya dia sudah bisa membedakan sendiri.

Maryam (2 tahun) juga ikut-ikutan. Tiap habis makan sesuatu, pasti bertanya, "buang mana?", maksudnya dibuang kemana. Suatu hari, dia mau membuang bungkus kertas bekas makanannya dia.

Maryam: "buang mana?"
Mama: "Itu kertas, Sayang. Buang ke yang biru."
Maryam: "beureum aja.." sambil nyengir.
Mama: "Eh.. itu mah biru atuh.."
Maryam: "beureum!" sambil berbalik menuju dapur.
Mama: "biru!"
Maryam: "Oh, beureum.. okeh!" sambil berlari ke dapur
Mama: *gubraks!!*

Friday, May 8, 2009

Baby Utun: Kontrol kelainan jantung

Pada pemeriksaan Praenatal Diagnostik yang lalu, dokter R menganjurkan untuk kembali melakukan pemeriksaan pada usia kandungan 28 - 30 minggu. Waktu itu, saya menyebutkan kalau salah satu keponakan saya ada yang terlahir dengan kelainan jantung  bawaan. Sebenarnya saya sudah menolak ke dokter kandungan saya untuk tidak melakukan pemeriksaan ini.. hanya karena saya males bikin janjinya.. hehehe.. dan khawatir harus bayar sendiri, resikonya juga hanya 4% saja. Tapi ternyata dokter F menjelaskan kembali, bahwa itu adalah basisrisiko, maksudnya setiap wanita hamil mempunyai kemungkinan anaknya mengalami kelainan jantung bawaan sebesar 4%. Seandainya di keluarga sudah ada yang seperti itu, tentunya resiko yang dihadapi oleh saya lebih besar lagi. Dan selama saya membawa surat transfer (Überweisungschein) dari dokter F, maka saya tidak harus bayar sendiri.

Setelah membuat janji sebulan yang lalu, akhirnya hari Senin yang lalu saya bertemu kembali dengan dokter R. Pemeriksaan kali ini agak berbeda dengan sebelumnya, dimana saya tidak boleh meminyaki/memberi krem pada permukaan perut 5 hari sebelum pemeriksaan. Dan terus terang.. ini cukup menyiksa karena harus menahan gatal.. :D Untungnya kali ini tidak usah. Kali ini tidak ada lagi wawancara, saya langsung melakukan CTG selama 30 menit.. sampai ketiduran.. :D Setelah itu baru bertemu dengan dokternya.

Awalnya saya pikir, pemeriksaan kali ini akan berjalan lebih singkat, karena dokter hanya akan melihat kondisi jantung si anak saja. Ternyata tidak.. Pemeriksaan tetap lama.. Kondisi bayi dari luar sampai dalam, dari ujung rambut sampai ujung kaki tetap diperiksa. Hanya memang tidak sedetil yang dulu, dan jantung memang diperiksa lebih teliti.. karena pada pemeriksaan sebelumnya masih belum kelihatan jelas. Hasilnya alhamdulillah baik.. jantungnya normal. Kondisi fisik yang lain juga normal, beratnya sekarang sudah 1194 g (hm.. hampir 200 g dalam seminggu?? gede juga..).

Anehnya dokter R tidak menyambit-nyambit tentang kondisi plasenta saya yang sangat dikhawatirkan oleh dokter F. Akhirnya saya bertanya, dimana posisi plasenta sekarang? Menurutnya, plasenta saat ini ada di atas belakang. Heh?? bukan di bawah, Dok?? Tepat seminggu sebelumnya, dokter F menyatakan saya mengalami Placenta Previa. Dokternya sendiri heran, maka untuk meyakinkan, dia mengganti alat menggunakan USG bawah. Dari situ kelihatan kalau jalan lahir masih tertutup, jarak antara Plasenta dengan mulut rahim lebih dari 3 cm, cukup jauh. Dan ini tidak termasuk Placenta Previa, katanya. Alhamdulillah.. berarti dalam seminggu saja, Plasenta sudah mulai bergeser menjauhi mulut rahim. Alhamdulillah.. :)

Oiya, berhubungan dengan ukuran perut yang semakin membesar, ternyata ada yang berubah juga dengan kebiasaan Maryam. Akhir-akhir ini dia senang sekali melingkari perut besar ibunya sambil menghujaninya dengan ciuman.. "Sayang Utuuun.." dengan mulut manyunnya.. :D Terlebih ketika dia bete dan sedih karena habis berantem dengan kakaknya, dia bakal langsung memeluk adiknya (yg masih di dalam perut tentu saja).. sambil mencium-ciuminya.. lucuu.. :D