Friday, January 30, 2009

Nadin: membedakan bahasa

Sejak umur 1 sampai 2,5 tahun, Nadin saya titipkan di Kinderkrippe (Creche/day nursery). Waktu itu kebetulan saya lagi semangat mengambil kursus Bahasa Jerman, manfaatin waktu sebelum Maryam lahir. Jadinya Nadin boleh dititip di situ. Seandainya saya tidak punya aktivitas, maka saya tidak boleh menitipkan anak di sana. Jadi, karena dalam jangka waktu 1,5 tahun tersebut Nadin sering berkomunikasi dengan bahasa Jerman, saya merasa yakin dia sudah tidak asing lagi dengan bahasa ini, meskipun dia tidak pernah mendengarnya di rumah. Namun, Nadin tidak secepat dan sebanyak Maryam dalam hal bicara, umur 2,5 tahun baru bahasanya mulai banyak yang bisa dimengerti. Meskipun selama di Krippe dia terbiasa dengan bahasa Jerman, di rumah tidak pernah kedengeran dia ngomong bahasa Jerman, kecuali eins zwei drei bis zehn (satu dua tiga sampai sepuluh).

Justru disaat dia mulai banyak bicara, dia harus keluar dari Kinderkrippe, karena saya tidak punya alasan lagi untuk menitipkan dia di sana. Akhirnya selama 6 bulan dia tinggal di rumah bersama ibunya sampai akhirnya masuk TK. Saya pikir, setelah 6 bulan tidak pernah mendengarkan, dia mungkin sudah lupa dengan bahasa komunikasi dia sewaktu di Krippe dulu. Tapi mungkin dalam memorinya jauh di dalam sana, masih tersimpan rekaman-rekaman bahasa tersebut, jadi saat dia berkomunikasi lagi di TK, dia tidak akan terlalu asing mendengar bahasa teman-teman dan gurunya.

Satu.. dua.. bulan berlalu.. Saya lihat Nadin bisa bermain dengan teman-temannya. Namun entah bahasa apa yang dia gunakan. Dan entah dia pun bisa mengerti atau tidak apa yang orang lain bicarakan. Dia lebih banyak senyum-senyum dibanding bicara. Kira-kira tiga bulan setelah di Kindergarten, saya bertanya ke gurunya mengenai perkembangan bahasanya Nadin.  Menurutnya, Nadin sudah bisa bicara dalam bahasa Jerman, bahkan dalam kalimat., meskipun strukturnya masih memakai struktur bahasa Indonesia, katanya.
Misalnya: Saya mau minum susu.
Nadin: "Ich will trinken Milch".
Seharusnya: "Ich will Milch trinken".
Tentu saja saya merasa lega, berarti selama ini dia bisa belajar.

Beberapa hari kemudian, ketika kami tercegat lampu merah dalam perjalanan pulang, dia menunjuk sebuah mobil sambil berkata, "Auto, Mama". Saya kaget.. campur bahagia sebenarnya.. karena ternyata yang dibilang gurunya benar. Tapi, sebenarnya kan dia sudah tahu bahwa 'itu' adalah mobil. Dan saya merasa, itulah saatnya untuk memberitahu dia, bahwa bahasa yang dia gunakan di sekolah berbeda dengan yang dia gunakan di rumah. Lalu saya koreksi, "O iya, itu mobil". "Bukan Mama, itu Auto!". "Iya, kalau di Kindergarten itu namanya Auto, kalau di rumah itu namanya mobil.". Dia pun terdiam.. berpikir.. Aku tambahkan lagi biar jelas, "kalau di Kindergarten, kalau Nadin ngomong sama Frau V***** dan guru yang lain.. atau Nadin ngomong sama temen2 Nadin, itu namanya Auto. Tapi kalau di rumah, kalau Nadin ngomong sama Mama, Papa, Maryam, Teh Hani, dll, itu namanya mobil.". Dia pun semakin diam.. ah, tampaknya cukup dulu pelajaran hari itu.

Beberapa waktu kemudian, pas lagi heboh-hebohnya piala UEFA, ada salah satu jajanan Nadin yang berhadiah tato bendera Jerman. Dia senang sekali, sampai ditempel di tangan kanan kiri, bahkan di kaki. Tapi lama-lama, dia penasaran juga dengan tatonya. Dia pun bertanya itu gambar apa. Saya bilang, itu bendera Jerman. Nah, kalau di Kindergarten, Nadin ngomongnya bahasa Jerman.. benderanya yang ini. Kalau di rumah, Nadin ngomongnya bahasa Indonesia sama Sunda, benderanya yang warna merah putih. (untung dia gak nanya bahasa Sunda benderanya yang mana? hahaha..). Kebetulan tak lama setelah itu, di TKnya Nadin memang ada Sommerfest, dimana anak-anak membuat bendera negaranya masing-masing. Dan saat itu dia sudah tau, kalau dia membuat bendera Indonesia.

Semenjak itu, dia sering bertanya, 'ini' bahasa Jermannya apa? 'itu' bahasa Jermannya apa? Atau terkadang saat dia menemukan kosakata baru, dia pun suka laporan. Seperti beberapa hari yang lalu, saat saya sedang memasak, tiba-tiba dia berdiri di pintu dapur.
"Mama, ini kalau di Kindergarten namanya noi", sambil menunjuk kaos kakinya.
Asalnya saya nggak ngeh.. tapi.. waduh.. gawat..
"Apa, Neng? noi??!".
"Iya, noi..".
"Kaos kaki? bahasa Jermannya noi?" mencoba mempertegas informasi.
"Iya." katanya yakin.
Lalu saya dekati, dan saya jelaskan, bahwa noi (ditulisnya neu) bukan kaos kaki, tapi baru. Kalau kaos kaki bahasa Jermannya Socken. Mungkin temen2 Nadin ngomong "Deine Socken sind neu", itu artinya kaos kaki kamu baru. Memang hari itu Nadin kaos kakinya baru. Tapi dia salah tangkep kata-kata. :D Alhamdulillah setelah dijelaskan, dia jadi mengerti.

Sampai saat ini, dia sudah bisa membedakan bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. Hanya membedakan bahasa Sunda yang masih dia bingung. Kosakatanya kadang-kadang masih campur. Tapi mulai diberitahu juga sih sekarang, bahwa itu bahasa Sunda.. itu bahasa Indonesia. Dia tampak susah membedakan, karena kedua bahasa tersebut keluarnya dari mulut yang sama. Tampaknya harus merubah strategi nih. Bagi saya ini agak sulit juga sulit sekali, tidak semudah mengajarkan membedakan bahasa Jerman dan Indonesia, yang bisa diumpamakan dengan bahasa di Kindergarten dan bahasa di rumah. Sehingga Nadin langsung mengerti. Pernah dikasih masukan sama teman, coba digunakan bahasa yang berbeda dalam suasana yang berbeda. Misal: saat sarapan gunakan bahasa Sunda.. saat bermain gunakan bahasa Indonesia, dll. Tapi.. susah mempraktekkannya, Mbak.. cenderung gak jalan, kesulitannya datang dari saya sendiri sebenarnya. Kayaknya saya dan si Akang harus memegang peranan masing2 sekarang, satu bicara bahasa Sunda, lainnya bahasa Indonesia.. Ini sedang dalam tahap percobaan.

Oya, di rumah, saat ngobrol dengan saya dan Kang Dian, dia tidak menggunakan bahasa Jerman. Tapi bagaimanapun, sekarang saya sering mendengar dia ngoceh dalam bahasa Jerman. Saat dia bermain sendiri dengan boneka-bonekanya.. ataupun dengan adiknya, yang sama sekali tidak mengerti, tapi ikut-ikutan aja. Suatu hari, saya mendengar teriakan mereka, yang satu tidak mau kalah keras dari yang lain. Saat saya dekati, ternyata seperti biasa, mereka sedang rebutan mainan.
Nadin: "Meine!" (punyaku!)
Maryam: "Meine!"
Nadin: "Meine!"
Maryam: "Meine!"
Nadin: "punya Nadin!"
Maryam: "punya Addiin!"
Nadin: *bingung*
Ibunya: *ketawa*

Namanya juga anak-anak.. proses belajar mereka benar-benar alami. Jadi wajarlah kalau suatu saat ada satu atau beberapa hal yang salah dia tangkap. Adalah tugas kita sebagai orang tua untuk meluruskannya. Yang saya temukan dari Nadin, dia belum bisa membedakan benda jamak dan tunggal. Dan menurut cerita seorang teman, ini menjadi salah satu tes kontrol anak di usia 4 tahun nanti (U8). Saya pun mulai dag dig dug ketika menyadari dia selalu menyebut "Schmetterlinge", tak peduli berapapun jumlahnya. Kebetulan satu saat, di sebuah buku, ada seekor kupu-kupu.
Nadin: "Mama, lihat ada kupu-kupu.. kalau di Kindergarten namanya Schmetterlinge."
Saya: "Iya, kalau di Kindergarten namanya Schmetterling."
Nadin: "bukan, Schmetterlinge"
Saya: "kalau kupu-kupunya cuma satu, namanya Schmetterling, kalau ada dua, tiga, empat, sepuluh, atau baaanyaaak.. namanya Schmetterlinge."
Nadin: " Oo.. gitu.. kalau kembangnya satu apa? kembangnya banyak??"
Saya: " Blume.. Blumen.."
Nadin: "Kalau gajah? maung? kucing? gogog?"
dia bertanya terus... teruuus... dan teruuuuuussss...
Sampai pada kosakata2 yang saya juga tidak tahu.. :D
Akhirnya saya bilang kalau untuk kata itu, Mama juga gak tau, harus lihat kamus dulu.. :D:D:D

Pertanyaan lainnya, " Mama, kalau di bahasa Jerman, kalau gajah ada satu Elefant, kalau gajahnya banyak Elefanten. Kalau di bahasa Indonesia, kalau gajahnya satu apa? kalau gajahnya banyak apa??"

Haduh.. dasar bocah.. ada-ada aja pertanyaannya...

34 comments:

  1. hihihi....tunggu aja Na..bentar lagi pertanyaannya bakal lebih ajaib deh... :-)
    tapi salut ama Nadin..dirumah teteup bhs indonesia ato bhs sunda..steffie sih udah bhs jerman setiap saat :-( sampe alexa juga mulei terpengaruh ....huaaaaaa

    ReplyDelete
  2. siap-siap nanti bahasa jermannya dikalahin sama nadin..heu
    terutama masalah gramatiknya...

    ReplyDelete
  3. heheheheeh, nanti maryam lebih cepat lagi bisanya, karena belajar dari Nadin yang 'sama tinggi matanya' dengan dia, bukan dari Mamanya yang 'tinggi matanya' jauh dari dia:-)

    ReplyDelete
  4. Itu yg pake jilbab putih Nadin? aih aih...cantik banget. Nurun ibunya ;-) Nadin, jgn khawatir. Maryam pinter bla bla bla, tapi kamu pasti lebih pinter gramatiknya di sekolah. Biasanya gitu Na. Jadi ibunya ntar yg tambah bingung ditanyain..... hihihihihihi

    ReplyDelete
  5. Susah emang membiasakan anak2 berbahasa Indonesia komo mun Sunda mah, saya berkali2 bilangin ke anak2..tolong lamun di rumah pake bhs.Indonesia, jawaban-na teh :susah ah kalo ngomong Indonesia" kalo saya mah nya Indonesia campur Sunda, atawa kadang2 jerman logat sunda kitu. Anu penting mah barudak ngarti lamun urang nyarios, leres teu Na? Keun we da namina oge barudak..resep-nya keur meujeuh-na..

    ReplyDelete
  6. Ah, Mbak.. mungkin ini karena:
    1. kedua orang tuanya orang Indonesia aseli...
    2. bahasa Jerman ortunya plintat-plintut meski udh bertahun2 tinggal di sini
    3. Kami memang berusaha untuk bicara bahasa ibu ke anak-anak. Karena kalau bukan dr kami, dr siapa lagi mereka bisa belajar?? dari tetangga atau sekolah? gak mungkin kan?!

    Aku justru salut sama anak blasteran yang bisa lancar berbicara bahasa ibu dan bahasa bapaknya. Dan ini benar adanya.. maksudnya nyata.. bukan cuma fiksi.. ;)

    ReplyDelete
  7. moal, Kang.. moal kaelehkeun.. InsyaAllah bade uih sateuacan barudak sakola. ;) Duakeun sing kacumponan..

    ReplyDelete
  8. tinggi mata berpengaruh ya, Mbak?? :D Kalau saya ngomongnya sambil jongkok gimana? atau Maryamnya yg dipangku... hihi..

    ReplyDelete
  9. Nah, justru ini yang saya takutkan, makanya anak-anak dibiasakan sejak dini ngomong bahasa ibu. Saya juga khawatir, kalau anak-anak tidak biasa ngomong bahasa ibu, saat kami balik ke Indonesia nanti, apakah liburan atau kembali tinggal di sana, anak-anak merasa tersiksa oleh lingkungan gara-gara bahasa.

    Ini memang bukan hal yang mudah, tapi kita pasti bisa.. cieee.. jadi semangat kieu.. Kebetulan saat ini saya dekat dengan ibu yang berhasil mengajarkan bahasa ibu ke anaknya.. saya jadi tambah semangat nih.. Sampai detik ini, saya sendiri belum merasa berhasil.. bahkan masih jauuuuh dr berhasil... Tapi usaha terus, gak ada salahnya kan?!

    ReplyDelete
  10. Ngga usah khawatir...1 minggu di Indonesia..mereka udah bisa berkomunikasi. kalo kita perhatikan lucu anu hiji pake bhs indo, anu hiji deui berusaha nyarios bhs. indonesia cara Jerman, anu dibalik-balik. ahh barudak....

    ReplyDelete
  11. kalau aku lihat, disini orangtua ikut dengan bahasa anak di sekolah, agar anaknya bisa mengikuti kegiatan disekolahnya. apalagi kalau usia anaknya baru belajar bicara. sebab, ada anak yang malah jadi punya kesulitan dalam bicara karena bahasa yang berbeda antara di rumah dan di sekolah, (kebingungan bahasa).

    *sekarang nadin tambah besar, tambah kelihatan cantiknya*

    ReplyDelete
  12. Nadin...cantik banget na, udah lama ga ngeliat dia....btw, di krippe yang dulu itu aku rasa dia banyak nangkep bahasa turki deh, secara yang jagain anak2 kita itu orang turki dan beberapa kali kepergok ngobrol dengan sesama temannya dengan bahasa itu :))

    ReplyDelete
  13. lucu banget >.<
    semangat belajar ya nadin :D

    ReplyDelete
  14. perjuangan ya mbak, ngajarin anak dengan 3 bahasa kaya gitu. semangat ya mbak, semoga berhasil... :)

    btw, kemaren saya kumpul dan berenang sama k Achie, k Ardi, Kinan dan Fawwaz. ntar deh insyaAllah diupload foto-fotonya..

    ReplyDelete
  15. hehehe.. iya sih.. da barudak mah cepet belajarnya. Tapi buat saya mah ini semua tidak sesederhana itu :) Bahasa utama buat mereka tetep bahasa ibu. ;)

    ReplyDelete
  16. Kalau di TKnya Nadin malah orang tua yang bukan orang Jerman tidak boleh mengajarkan anaknya bahasa Jerman, karena bisa jadi ada kesalahan pengucapan dan lain-lain. Biarkan mereka belajar bahasa di sekolah, katanya, itu kan salah satu tujuan anak tinggal di TK. Orang tua cukup mengajarkan bahasa ibu saja.

    ReplyDelete
  17. Farhan juga pasti udh gede ya?! tambah cakep pastinya..
    Itu maksudnya yang di Kinderbetreuung kali? kalau yg di sana iya, yang bisa bahasa Jermannya cuma 1.. eh..2. Apalagi ibu2 yg udh tua itu, kalau aku tanya malah kabur. :D
    Tapi, kalau yg di Kinderkrippe (yg di bawah), Erzieherin-nya orang Jerman. Pflegerinnya satu orang Jerman, satu orang Turki, tapi masih pada muda, kayaknya masih pada azubi gitu deh. Dan komunikasi mereka bahasa Jerman kok.

    ReplyDelete
  18. amiin.. makasih...
    iya, anak ini online terus sekarang.. senangnya...

    ReplyDelete
  19. siapa hayo??? fotografer yg biasa lah.. ;)

    ReplyDelete
  20. wah... bisa ya belajar langsung 3 bahasa sekaligus di bawah 3 tahun. Dulu niatnya afya dibiasakan bahasa Jawa, tapi karena sejak 7 bulan dititip ke daycare, akhirnya yg keluar bahasa Indonesia juga..... Bahasa Jawa baru mulai sesekali keluar setelah gaul dengan sepupu2nya, itupun hanya beberapa kata, kalau membuat kalimat tetap amburadul. Sekarang (afya 5 tahun) tambah bahasa Inggris karena di sekolah mulai diajari. Mudah2an bisa seperti Nadin dan Maryam yang bisa belajar 3 bahasa sekaligus yaa....

    ReplyDelete
  21. Seneng ya Na ngeliat anak bisa bahasa kita hehehe.

    ReplyDelete
  22. Wah.. Nadin hebat, umur 4 th uda ngerti macem2 bahasa :D
    klo nyambung k tahapan perkembangan (hehe, psi anak BGT!!) risiko belajar mcm2 bahasa d usia dini adl kebingungan pemilihan kosa kata pd si anak. (Tp nadin ga bingung kan y..)

    ReplyDelete
  23. Kalau lihat contoh yang sudah ada.. bisa-bisa aja, Mbak.. bahkan dimulai sedini mungkin lebih baik.. (sejak lahir), dan katanya, metode belajar sekaligus (simultan) lebih gampang buat si anak daripada satu persatu. cmiiw...

    Saya sendiri mengajarkan anak 3 bahasa bukan untuk 'gagayaan', apalagi tanpa alasan.. tapi karena 'keadaan'. Bahasa Jerman karena kami tinggal di situ (sementara ini), Bahasa Indonesia dan Sunda.. karena ini adalah bahasa 'ibu' kami.

    ReplyDelete
  24. seneng banget donk, Mbak.. ;)
    sama kaaaan?! :D

    ReplyDelete
  25. Hm.. selama interaksinya konsisten, harusnya anak-anak tidak kebingungan. Misal: ayah bicara bahasa A, ibu bicara bahasa B, sekolah bicara bahasa C. Di awal mungkin akan terjadi pencampuran kosakata. Namun seiring dengan waktu, anak-anak akan bisa membedakan dengan sendirinya. cmiiw.

    Nadin yang masih bingung membedakan bahasa Sunda dan Indonesia. Ini kesalahannya ada di saya.. Yah.. kalau ibunya ngomongnya nyampur2.. gimana anaknya mau bener?? makanya sebenarnya sekarang saya sedang membetulkan bahasa saya sendiri.. :D

    ReplyDelete
  26. 2 tahun deui tea...heheheheh...naha padahal mah kan lumayan janten tiasa bahasa jerman tanpa kursus ari sakola diditu mah....;-)

    ReplyDelete
  27. aduhh eta foto nadin meuni geulis...senyum tulusss...;) mmuahhh ah...selama anaknya ga masalah mah teruskan saja Na...tanpa ada output keluar dengan bicara pun biasanya (Katanya..) bahasa tersebut disimpan di dalam memorinya seperti yang Tina bilang...InsyaAllah nanti pas udah balik ke sini pun aya lah bekas-bekas na nya....;-)

    ReplyDelete