Friday, November 19, 2010

Menukar uang kecil

Sebagai anak seorang pedagang eceran, tentunya saya sudah tidak asing lagi dengan tukar- menukar uang kecil. Bapak saya selalu membutuhkan uang kecil ini untuk uang kembalian para pelanggan yang belanja di toko kami. Di saat kami harus memberi uang kembalian, dan kotak kecil tempat koin-koin recehan itu kosong.. wuuuuhh.. rasanya seperti mendapat bencana. Karena itu tandanya kami harus segera berlari menukar uang kecil pada pedagang terdekat, seperti si ujang tukang rokok, atau si Teteh kupat Tahu, dll. Dan itu tandanya pula kalau si pelanggan harus menunggu beberapa saat sampai kami mendapatkan uang kecil. Ah, benar-benar tidak enak membiarkan pelanggan menunggu. Makanya, untuk jaga-jaga, meskipun uang kecil masih ada di kotak, tapi bapak saya suka menukar uang kecil yang banyak dari mesjid sekalian sambil menunaikan sholat.

Nah, tidak disangka, meski sekarang saya tidak berdagang seperti bapak saya, namun pada kenyataannya saya tetap berhubungan dengan tukar-menukar uang kecil ini. Saya membutuhkannya untuk mencuci baju. Ya, kami memilih untuk tidak memiliki mesin cuci sendiri. Selain karena tidak ada cukup ruang untuk itu, juga (berdasarkan itung-itungan si tukang insinyur) energi yang digunakan lebih hemat kalau kami memakai mesin cuci bersama yang disediakan bapak kos di ruang bawah tanah. Dulu, kami mengandalkan uang kembalian dari toko saat belanja untuk keperluan mencuci baju ini. Namun, sekarang uang kembalian sudah tidak bisa diandalkan lagi, karena produktivitas kami dalam mencuci baju meningkat drastis dengan bertambahnya jiwa dalam keluarga kami setiap 2 tahunnya.. :D

Oleh karena itu, dengan rutin saya menukar uang kecil ke Bank. Ada 2 bank yang pernah saya kunjungi. Pertama Deutsche Bank (di Marienplatz). Keuntungannya, mereka memiliki kassa khusus untuk penukaran uang dan kita tidak perlu memiliki rekening di sana untuk menukar uang (kalau tidak salah sampai penukaran 30 Euro, lebih dari itu kena biaya 5 Euro, cmiiw). Namun, kassa ini letaknya ada di lantai bawah. Jadi agak sulit lah untuk saya yang membawa stroller, kecuali stroller ditinggalkan di atas (jangan lupa anaknya harus di bawa ke bawah). Kedua, saya lebih sering menukar uang kecil ini di Postbank, bisa sekalian pas mengirim surat atau paket. Sayangnya, kalau di Postbank harus mempunyai rekening di sana (untungnya saya punya :D). Pada prinsipnya sama dengan Deutsche Bank, di sini hanya ada satu orang pegawai yang bertanggungjawab atas penukaran uang kecil ini. Sayangnya, si pegawai in charge tidak hanya melayani penukaran uang, namun juga melayani yang lain. Intinya, hanya ada satu antrian untuk masuk ke kasir yang manapun. Jadinya untung-untungan, kalau pas kebagian di pegawai yang itu, maka beruntunglah kita. Namun kalau tidak pas, maka kita akan dirujuk ke pegawai yang itu, dengan resiko menunggu lagi satu orang di depan kita yang sedang dia layani. Tapi ini bukan masalah besar lah ya, dan saya cukup puas menukar uang ke Postbank ini. Jadi semenjak itu, kami pun tidak pernah punya masalah "tidak bisa mencuci baju karena tidak punya koin". :D

Sekarang masalahnya lain lagi. Anak-anak saya yang rajin menabung selalu menghabiskan recehan dari dompet dan saku jaket saya untuk dimasukkan ke dalam celengan. Setelah penuh, bingung deh itu uang 1 dan 2 sen-an bejibun.. Kalau dibelanjakan, kapan habisnya?? Dulu waktu masih ada Mas Nano/Mbak Nuri sih gampang, tinggal colek mereka aja, dan kami akan bertemu di Sparkasse (nama Bank) untuk menukar isi celengan tersebut. Ya, di Sparkasse ada mesin penukar uang. Tinggal masukkan uangnya ke mesin, si mesin akan menyaring dan menghitung sendiri uangnya. Nanti si uang akan masuk ke rekening. Nah, itu lah masalahnya, kami tidak punya rekening di sana. Jadi sekarang tidak bisa seperti itu lagi. Bisa aja tentunya langsung ke Bank, namun saya tidak bisa bayangkan berapa lama saya harus berdiri di sana untuk menghitung uangnya satu per satu. Dulu pernah mengantar teman, lebih tepatnya si uang tidak dihitung, namun dimasukkan ke semacam cetakan yang sudah dipas untuk masing-masing koin, misal untuk 25 koin untuk pecahan 2 Euro-an, 25 koin untuk pecahan 1 Euro-an, dan lain-lain lengkap sampai pecahan 1 sen. Meski begitu, tetap perlu waktu untuk memasuk-masukkan uangnya ke dalam cetakan, keburu anak-anak saya bosan dan rewel.

Akhirnya kemarin saya tanyakan langsung ke pegawai kantor pos, siapa tahu mereka punya mesin seperti itu. Ternyata, mereka tidak punya. Namun si ibu punya solusi, dia bilang Postbank hanya menerima uang kecil yang sudah digulung. Jadinya saya dibekali segepok kertas warna-warni untuk menggulung uang-uang kecil di rumah. Di kertasnya sudah ada tulisan untuk pecahan uang berapa dan berapa bijinya yang harus dibungkus di situ. Tak hanya itu, si ibu juga mengajarkan saya bagaimana cara menggulung koinnya nanti. Di lipat sedikit di ujungnya, simpan koin di sini, lalu di gulung ya, katanya. Halah.. dasar orang Jerman.. semua sudah ada aturannya.. :D Tapi cara ini lebih praktis untuk saya, karena di rumah saya punya waktu lebih santai untuk menyortir si koin-koin ini.

Malamnya, setelah anak-anak tidur, saya pun mulai mengerjakan proyek ini. Si akang ikut-ikutan semangat membantu menyortir koin-koin berdasarkan besarnya, saya menghitung dan menggulung. Dan tadaaaaa... ternyata cepat sekali.. kayaknya gak sampai 1 jam.. Rasanya sudah ahli saja dalam hal gulung menggulung koin, hihihi.. sempat kepikiran untuk membuka penukaran uang segala *BisnisModeOn*. Esoknya saya tukarkan ke Postbank, bagaimanakah cara mereka mengecek kebenaran jumlahnya? dibongkar lagi? tentu saja tidak, yang benar adalah d i t i m b a n g.

Setelah mengalami dua cara penukaran uang yang berbeda, jadi kelihatan deh kelebihan dan kekurangan masing-masing metode. Kalau menggunakan mesin, semua uang kita bisa habis bis bis semua, namun uang-uang yang kotor dan tidak terdeteksi akan kembali lagi ke kita. Sedangkan dengan metode gulung-menggulung ini, uang-uang yang kotor pun bisa kita masukkan karena tidak akan kelihatan, namun menyebalkan jika jumlah si koin kurang satu biji saja dari jumlah yang seharusnya. Efeknya? jadi masih tersisa banyak di rumah. Tapi tak apalah, dibandingkan yang kemarin, hanya sejumlah ini mah bisa dicicil dibelanjakan saat jajan yang kecil-kecil.. :D

8 comments:

  1. Ooo kirain semua bank di Jerman punya mesin penghitung uang koin.....pengalamannya cuma di Sparkasse aja sih....gak pernah ke bank lain.

    ReplyDelete
  2. masa sih lebih murah pake mesin cuci rame-rame?gimana itungannya mba?:-D

    ReplyDelete
  3. wah, jangan2 cuma kami nih yg gk punya Konto di Sparkasse.. heheh.. Pantesan Bos Sparkasse Muenchen gajinya kedua paling tinggi euy! (klo gk salah 421 ribu *wow!*)

    ReplyDelete
  4. klo ulet = rajin jelas tidak, Ris.. yg ada ngulet melulu... :D

    ReplyDelete
  5. Nah, ini sebenarnya untuk mesin cuci di rumah kami. Masing2 rumah tarif mesin cucinya kan beda2 dan perusahaan listriknya jg beda, jadi mesti dihitung masing2. :D
    Ngitungnya sih gampang, ukur jumlah listrik dan air yg terpakai dalam sekali cuci, konversikan ke harga. Tinggal bandingkan dengan harga mesin cuci plus biaya listrik dan air yang terpakai untuk mencuci. Untuk sekali mencuci (plus Vorwasche) di rumah kami hanya 80 sen aja. Udh gitu, dr 18 penghuni di rumah kami, 13 penghuni tercatat sebagai pengguna rutin si mesin cuci ini. Jd tampaknya tetangga2 saya itungannya sama..

    ReplyDelete
  6. Dulu di Hannover orang Indonesia yg kita kenal jarang banget yg bank-nya Sparkasse. Katanya administrasi bulanannya mahal...Kami sih kepaksa, soalnya pertama dateng suami dibawa profesornya ke Sparkasse deket apartemen. Nunut aja deh......

    ReplyDelete