Wednesday, October 13, 2010

Elternabend - Vorschule

Eltern = orang tua, Abend = malam. Elternabend = malam orang tua. Itu kalau diterjemahkan per kata. Tapi sebenarnya ini adalah malam dimana orang tua mendapatkan informasi tentang segala hal yang ada di Kindergarten, mulai dari tempat bermain, material, biaya yang kita keluarkan untuk apa saja, makanan, pedagogik, dll. Teknisnya (kalau di Kindergarten Nadin), masing-masing guru bertanggungjawab untuk satu tema. Orang tua bisa mendengarkan penjelasan sang guru (kalau kebetulan menjelaskan), melihat diagram, gambar atau apapun yang telah dipersiapkannya dan menanyakan apa saja yang ingin orang tua ketahui. Karena saat ini Nadin sudah Vorschule, maka saya lama nongkrong di sana untuk menanyakan hal-hal yang bikin saya penasaran. 

Saya termasuk yang datang awal, kebetulan waktu itu baru ada dua orang tua, saya dan satu bapak yang lain. Jadinya lebih enak, tenang, dan apa yang si ibu jelaskan bisa dimengerti lebih mudah. Ketika kami datang, si ibu langsung menjelaskan kegiatan anak-anak Vorschule. Setiap hari Selasa mereka belajar bareng, katanya. Iya, karena si anak-anak ini tidak berada dalam satu grup (fyi: dalam satu grup di kiga ini terdiri dari berbagai macam umur anak alias dicampur). Jadi anak-anak Vorschule ini pun tersebar di semua kelas. Salahsatunya yang mereka pelajari adalah mengenal angka dari 1 sampai 10. Bukan belajar berhitung, tapi benar-benar hanya mengenal angka. ;)

Misalnya hari Selasa ini anak-anak mengenal angka 1. Bersama Frau K, mereka akan mewarnai angka 1, belajar menulis angka 1 dengan mengikuti gambar yang ada, kemudian menggambar angka satu dengan jarinya, dan mendengarkan cerita tentang angka 1. Selasa depannya, bersama Frau W, anak-anak akan bermain dengan angka 1. Kemarin si ibu memperlihatkan material-material bermain, salah satunya bermain timbangan. Si anak belajar mencari angka-angka yang beratnya setimbang. Misal angka 1 akan setimbang dengan angka 1 lagi. Angka 2 akan setimbang dengan 2 buah angka 1, dan seterusnya. Makin besar angka yang mereka kenal, akan makin rumit, katanya. Contoh lain si ibu memperlihatkan mainan yang lain yaitu membangun rumah. Ketika mengenal angka 1, anak-anak akan membangun rumah dengan satu dasar, satu tiang dan satu atap, dan seterusnya sesuai dengan angka yang sedang mereka pelajari.

Di ruangan itu terdapat folder yang bertanda dari huruf A-Z. Ternyata folder itu berisi foto dan nama mereka. Misal Nadin ada di folder N, di situ hanya ada foto Nadin dengan tulisan namanya. Jadi si anak bisa mengenal bagaimana menulis nama mereka. Ah, saya jadi tergelitik untuk menanyakan tentang belajar membaca. Apakah selama Vorschule anak-anak hanya dikenalkan dengan Alphabet saja? atau sudah belajar membaca?

Ternyata sebenarnya anak-anak tidak diwajibkan mengenal Alphabet ketika lulus Vorschule, apalagi membaca. Mereka hanya dikenalkan pada bunyi saja. Misal: AAAAAAAApfel, AAAAAAffe... EEEEEEElefant.. dan lain-lain. Tapi pada akhirnya, biasanya si anak secara otomatis jadi hafal semua huruf, katanya. Si ibu memperlihatkan lagi satu permainan, dimana anak-anak harus mencari gambar benda yang bunyi namanya sama, misal seperti Kanne dan Pfanne atau benda yang berbeda satu huruf vokal seperti Hand dan Hund. Dan ini anak-anak hanya melihat gambar saja, tanpa ada tulisannya. Tapi tentu saja kalau ada anak yang bertanya, ini huruf apa? harus saya jawab yang sebenarnya.. tidak bisa disembunyikan, katanya.. (Sepakat, Bu.. itu juga yang saya lakukan pada anak-anak saya.. :D) 

Oya, satu lagi yang bikin saya penasaran. Anak-anak Vorshule ini diberi loker masing-masing oleh gurunya. Isinya hanya Federmaepchen (map yang berisi alat tulis dan pensil warna) dan Malkasten (cat air lengkap dengan koasnya). Saya penasaran karena anak-anak tentunya sudah familiar dengan perlengkapan ini sejak masuk TK, kenapa tampaknya sekarang istimewa sekali. Ternyata bukan ke fungsi alatnya, tapi lebih ke "rasa memiliki". Jadi anak-anak dilatih untuk menggunakan dan menjaga barang-barang pribadinya. Ini juga sebagai penyesuaian sebelum masuk SD. Nanti di SD barang-barang yang mereka miliki akan lebih banyak lagi.

Satu lagi, saya melihat buku-buku cerita yang ada di sana bukan lagi cerita-cerita dongeng seperti biasa, tapi lebih ke cerita ilmiah. Misalnya buku tentang planet, tentang alam, hutan, dan lain-lain. Pantesan beberapa waktu lalu, Nadin sempat bercerita kalau dia dibacakan buku tentang planet. Ada planet bumi juga lho, Maah.. (untung tidak lama sebelum itu, saya sempat bercerita tentang planet bumi pada Nadin, waktu itu berasa terlalu dini tea, tapi saya sudah terjebak, masa harus ngarang?! Ternyata ada untungnya juga, Nadin jadi gak bengong-bengong amat pas diceritakan di sekolahnya). Dan ya, semenjak itu Nadin suka cerita, misal: kalau planet paling kecil warnanya hijau, namanya sama kayak anjingnya Mickey dan Goofie, Pluto namanya. Atau pernah juga dia bercerita,

"planet bumi itu muter lho, Mah.. tapi kita gak jatuh dan gak terbalik ya?!".
Kemudian Maryam menimpali,
"iya, istana juga muter!".
*Lah kok gak nyambung??*
"istana kan lebih gede daripada bumi." lanjutnya.
Ooooh.. ternyata yang dimaksud "bumi" sama Maryam itu bumi dalam bahasa Sunda yang artinya rumah. Rumah sama Istana masih nyambung lah ya.. hahaha... Neng Iyam.. Neng Iyam.. Kamu lucu abis ah! :*:*:*

7 comments:

  1. setuju sama Mamah.. neng iyam lucu, ceu Nadin pinter ..
    btw sekolahnya mahal gak Na? jangan di kurskan ke rupiah ya..
    maksudnya dengan tingkat pendapatan disana, biaya sekolahnya mahal gak ya? :)

    ReplyDelete
  2. yg dimaksud sekolah TK atau SD? Kalau SD mah blm pernah mengalami, tapi cenah mah gratis, hanya biaya material (tas, buku, alat tulis, dll) tetap bayar sendiri. Kalau TK mah bayar. Kalau di Muenchen (otonomi daerah), yg negri bayarnya sesuai pendapatan dan sesuai jam si anak tinggal di TK. Makin besar pendapatan, makin besar bayarnya. Klo TK swasta mah semua bayarnya sama, harganya (pd umumnya) dua kali lipat yg negri. Hm.. mahal gak ya? mau dikurskan ke rupiah atau tidak, lumayan mahal kata saya mah.. sebulan satu anak sekitar 7% pendapatan.

    ReplyDelete
  3. Ina masukin yang privat atau yang negri?

    ReplyDelete
  4. Setelah menikah, aku sempat menyusun "Plan" untuk anak2 supaya segera bisa membaca...tapi, lama2 aku berpikir untuk tidak "memaksa"...Yg terpenting kan bukan membacanya, tapi bagaimana anak2 menyukai proses belajar...
    Dan tau gak Teh? Anak kelas 1 SD (7 tahun) udah belajar percakapan B.Inggris...
    Jangan tanya deh, bagaimana buku mereka...tulisan semua...
    Memprihatinkan ya, Teh?
    Kapan2 aku mau studi banding ke Jerman ahhh, supaya bisa bikin sekolah yang tidak memaksa anak2 untuk segera bisa membaca seperti disini.
    Doakan ya...:)

    ReplyDelete