Saturday, March 1, 2008

Jangan lupa bayar zakat profesi ya ;)

Akhirnya sempat juga sore tadi membaca majalah warisan dari Mbak Nuri. Kebetulan saya membuka salah satu halaman yang berisikan artikel tentang zakat profesi. Duh... jadi inget kalo duluuuuu (saking udah lamanya) pernah janji ama seseorang akan mencarikan detil-detil tentang zakat ini. Dan sebenarnya saya sendiri juga masih belum paham benar, makanya suka lieur juga kalau ada yang nanya  Semoga belom telat deh sekarang ya, Mbak...

Sebenarnya masalah zakat profesi tidak pernah dibahas dalam literatur fiqih klasik. Oleh karena itu, ada sebagian ulama yang tidak mengakui, ada sebagian lain yang mengakui adanya zakat profesi, salah satunya adalah Yusuf Qardhawi.

Ulama yang tidak sepakat berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat terhadap harta yang dihasilkan dari profesi karena tidak memenuhi syarat wajib zakat, diantaranya, harta harus sudah dimiliki selama 1 tahun dan selama 1 tahun tersebut tidak pernah berkurang dari nisabnya sebanyak 85 g emas murni. Adapun dalil yang dijadikan landasan: "Dan tidak ada kewajiban di dalam harta sehingga mengalami putaran Haul" (HR. Abu Daud) dan "Barang siapa mendapatkan harta maka tidak wajib atasnya zakat sehingga menjalani putaran Haul" (HR. Tirmidzi).

Sedangkan ulama yang sepakat berpendapat bahwa kewajiban haul tidak berlaku dalam zakat profesi. Sebab analogi yang dipakai adalah zakat pertanian yang wajib dikeluarkan zakat saat panen. Berdasarkan hal ini, maka zakat profesi dikeluarkan saat penghasilan diterima, setelah mencapai nisab tentunya. Selain itu, hal tersebut diperkuat pula oleh Firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah sebagian hasil usaha kalian" (QS. Al-Baqarah: 267)

Mengenai kisaran zakat yang wajib dikeluarkan, Muhammad Ghazali sebagaimana dikutip Qardhawi cenderung mengambil nisab tanaman dan buah-buahan sebagai ukuran, yaitu sebesar 50 wasaq atau 653 kg gabah kering giling atau 520 kg beras. Kalau di sini, anggaplah beras harganya 1,5 Eur per kg, dikalikan 520 kg, jadi 780 Eur. Barang siapa yang berpendapatan lebih dari 780 Eur, maka dirinya sudah termasuk wajib zakat. Untuk yang berada di tempat lain silahkan hitung dengan harga beras di masing-masing tempat Adapun prosentase zakat yang dikeluarkan sama dengan zakat emas dan perak, sebesar 2,5%.

Di sini ada dua pendapat lagi, sebagian ulama sepakat memotong 2,5% dari penghasilan kotor (sebelum dikurangi kebutuhan), sebagian lain berpendapat dari penghasilan murni (setelah dipakai untuk memenuhi kebutuhannya). Kalau kami sendiri biasanya memotong 2,5% dari penghasilan murni yang masih kotor (lho?!), maksudnya penghasilan yang sudah dipotong pajak tapi belum digunakan untuk memenuhi kebutuhan.  Nah, sekarang, sok atuh hitung penghasilan masing-masing... kalau sudah mencapai nisab, jangan lupa bayar zakatnya ya...


Sumber: majalah Paras edisi Oktober 2007

6 comments:

  1. aduh...yang ginian masih kurang paham nih...tapi Alhamdulillah kami melaksanakannya daripada salah khan?
    danke ya...

    ReplyDelete
  2. Gut...gut...rajin juga nih si Mama Nadin menuliskan kembali suatu artikel...moga banyak manfaatnya...

    ReplyDelete
  3. Iya, Teh.. emang kalo diulik terus... makin lieur deh. Diskusi ama si Akang sampe sekarang masih ada yang belum terjawab juga. Tapi yah.. kita coba aja melaksanakan sebisanya. InsyaAllah Allah mah kan Maha Tahu ya?! ;)

    ReplyDelete
  4. Amiin.. tapi ini mah bukan menuliskan kembali, Mbak.. dirangkum.. bisa pegel nih jari kalo mesti ngetik ulang :(( Btw, makasih lungsuran majalah2nyah.. :*:*:*

    ReplyDelete